Minggu, 25 Oktober 2009

Ngenet Dapat Uang?Asyik nih

Ngenet Dapat Uang?Asyik nih
Sambil ngenet dapat uang?klik…klik dapat deh uangnya.loh kok bisa?bisa donk!
Caranya?gampang kok, kita tinggal daftar z (gratis kok 100%)
Syaratnya?mudah,program ini disebut PTC (pay to click) contohnya:Clixsense,PPClix dll . Dengan kita mengklik iklan yang tersedia di situs yang menyediakan PTC tersebut, kita bisa dapat uang sambil ngenet (daripada buang waktu dengan buka-buka yang tidak berguna)
Garis besarnya sebelum daftar:
1. Harus punya email aktif
2. Punya alat pembayan paypal/alertpay untuk pembayaran hasil klik..klik kita. Ni alamat paypalnya: /
3. Buka situs-situs PTC. Langkah-langkahnya?
langkah pertama (1): buka situs/alamat internet yang menyediakan PTC
kedua (2): Daftarkan diri di situs PTC tersebut ( o..ya disini harus punya email n jangan lupa emailnya harus aktif karena untuk konfirmasi tentang pendaftaran PTC, biasanya berisi password,login name dll)
ketiga (3): Login/masuk ke situs PTC yang anda daftar. Setalah masuk cari kata surf ads, view ads, surf,dll lalu klik iklan yang disediakan oleh situs PTC tersebut. Tunggu 30 detik sampai iklan yang diklik selesai (sebab uang kliknya akan masuk/terkumpul di account uang klik anda )
MUDAHKAN! Jelas bisnis/sampingan ini tidakmembutuhkan keahlian. Kita hanya daftar lalu klik klik.
Contoh penghasilan:
You click 10 ads per day = $0.10
20 referrals click 10 ads per day = $2.00
Your daily earnings = $2.10
Your weekly earnings = $14.70
Your monthly earnings = $63.00
Sedikit?namanya juga usaha klik klik saja, coba kalau kita ikut 10 atau lebih situs PTC hitung saja berapa hasilnya.
Nih saya kasih Contoh situs-situs PTC supaya ga usah nyari-nyari:
1. (klik disini)
2.
3.
4.
5.
6.
7.
8.
9.
10.
11.
12.
13.
14.
15.
16.
17.http://www.incentria.com/index.php?ref=sowhat
18.

NB: masih banyak ribuan alamat yang menyediakan klik iklan dapat duit. Segera diinformasikan lagi

Rabu, 30 September 2009

asy'ariyah dan Maturidiyah

Asy’ariyah dan Maturidiyah

Asy`ariyah adalah sebuah paham aqidah yang dinisbatkan kepada Abul Hasan Al-Asy`ariy. Beliau lahir di Bashrah tahun 260 Hijriyah bertepatan dengan tahun 935 Masehi. Beliau wafat di Bashrah pada tahun 324 H / 975-6 M.
Awalnya Al-Asy`ari pernah belajar kepada Al-Jubba`i, seorang tokoh dan guru dari kalangan Mu`tazilah. Sehingga untuk sementara waktu, Al-Asy`ariy menjadi penganut Mu`tazilah, sampai tahun 300 H. Namun setelah beliau mendalami paham Mu`tazilah hingga berusia 40 tahun, terjadilah debat panjang antara dia dan gurunya, Al-Jubba`i dalam berbagai masalah terutama masalah Kalam. Debat itu membuatnya tidak puas dengan konsep Mu`tazilah dan dua pun keluar dari paham itu kembali ke pemahanan Ahli Sunnah Wal Jamaah.
Al-Asy`ariyah membuat sistem hujjah yang dibangun berdasarkan perpaduan antara dalil nash (naql) dan dalil logika (`aql). Dengan itu belaiu berhasil memukul telak hujjah para pendukung Mu`tazilah yang selama ini mengacak-acak eksistensi Ahlus Sunnah. Bisa dikatakan, sejak berdirinya aliran Asy`ariyah inilah Mu`tazilah berhasil dilemahkan dan dijauhkan dari kekuasaan. Setelah sebelumnya sangat berkuasa dan melakukan penindasan terhadap lawan-lawan debatnya termasuk di dalamnya Imam Ahmad bin Hanbal.
Di masa lalu ada perdebatan sengit antara para ulama dan tokoh-toko teologi yang ditimbulkan akibat masuknya nilai-niai filsafat non Islam terutama dari barat (Yunani). Karena akar filsaat dan teologi mereka berangkat dari mitos tanpa dasar dari agama samawi yang kuat, maka masuknya paham ini kedunia Islam pastilah menimbulkan pertentangan tajam. Dalam tubuh umat Islam, pertentangan ini mengerucut pada tarik menarik antara dua kutub utama yaitu ahlussunnah yang mempertahankan paham berdasarkan nash (naql) dan Mu`tazilah yang cenderung menafikan nash (naql) dan bertumpu kepada akal semata. Sehingga mereka sering disebut dengan kelompok rasionalis.
Dalam perbedabatan panjang antar dua kutub yang saat itu kebetulan kelompok mu`tazilah sempat memegang tampuk kekuasaan sehingga berusaha melikuidasi dan melenyapkan tokoh lawannya.
Di antara barisan ahlissunnah ini muncul nama dua tokoh ulama yang cukup berpengaruh, yaitu Al-Asya`ri dan Al-Maturidi. Mereka dalam hal ini menjadi qutub kekuatan mazhab aqidah yang sedang mengalami gempuran hebat dari kelompok rasionalis yang saat itu memang sedang di atas angin.
Al-Asy`ari mencoba menangkis semua argumen kelompok rasionalis dengan menggunakan bahasa dan logika lawannya. Karena kalau dijawab dengan dalil nash (naql), jelas tidak akan efektif untuk menangkal argumen lawan. Karena lawannya sejak awal sudah menafikan nash.
Sehingga kita memang melihat adanya kombinasi antara dalil aqli dan naqli yang digunakan oleh Al-Asy-`ari. Pada masanya, metode penangkisan itu sangat efektif untuk meredam argumen lawan.

Pemikiran Asy’ariyah
Konsep Aqidah Ahlussunnah wal Jama’ah yang berkembang hingga saat ini banyak berpijak kepada konsep yang disusun oleh Imam Al-Asy’ari atau pun Imam Al-Maturidi. Walau ada beberapa perbedaan, namun konsep mereka sangat mirip.
Adapun formulasi pemikiran Al-Asy’ari, secara esensial, menampilkan sebuah upaya sintesis antara formulasi ortodoks ekstrim di satu sisi dan mu’tazilah di lain sisi. Maksudnya, dari segi etosnya, pergerakan tersebut memiliki semangat ortodoks. Sedangkan aktualitas formulasinya jelas menampakkan sifat reaktif terhadap Mu’tazilah, suatu reaksi yang tak dapat dihindarinya. Corak pemikiran yang sintesis ini, mungkin dipengaruhi pemikiran Ibnu Kullab (tokoh sunni yang wafat pada 854 M)


Tuhan dan Sifat-Sifat-Nya
Abul Hasan Al-Asy’ari dihadapkan pada dua pandangan ekstrim. Di satu sisi ia berhadapan dengan kelompok mujassimah dan musyabbihah yang berpendapat bahwa Allah mempunyai semua sifat yang disebutkan dalam Al-Qur’an dan Hadits, dan sifat-sifat itu harus dipahami menurut arti harfiahnya. Di lain sisi, beliau berhadapan dengan Mu’tazilah yang menolak konsep bahwa Allah mempunyai sifat, dan berpendapat bahwa mendengar, kuasa, mengetahui, dan sebagainya bukanlah sifat, tetapi Substansi-Nya, sehingga sifat-sifat yang disebutkan dalam Al-Qur’an dan Hadits itu harus dijelaskan secara alegoris.
Menghadapi dua kelompok tersebut, Al-Asy’ari berpendapat bahwa Allah memang memiliki sifat-sifat itu (berbeda dengan Mu’tazilah) namun tidak boleh diartikan secara harfiah melainkan secara ta’wil (berbeda dengan mujassimah dan musyabbihah). Selanjutnya, Al-Asy’ari berpendapat bahwa sifat-sifat Allah itu unik, sehingga tidak dapat dibandingkan dengan sifat-sifat manusia yang tampaknya mirip.
Akal dan Wahyu
Walaupun Al-Asy’ari dan Mu’tazilah mengakui pentingnya akal dan wahyu, mereka berbeda dalam menghadapi persoalan yang memperoleh penjelasan kontradiktif dari aqal dan wahyu. Al-Asy’ari mengutamakan wahyu, sementara Mu’tazilah mengutamakan aqal.
Dalam menentukan baik dan buruk pun terjadi perbedaan pendapat di antara mereka. Al-Asy’ari berpendapat bahwa baik dan buruk harus berdasarkan pada wahyu, sedangkan Mu’tazilah mendasarkannya pada aqal.
Keadilan
Pada dasarnya Al-Asy’ari dan Mu’tazilah setuju bahwa Allah itu adil. Namun Al-Asy’ari tidak setuju bahwa Allah harus berbuat adil, sehingga Dia harus menyiksa orang yang salah dan memberi pahala kepada orang yang berbuat baik. Menurutnya, Allah tidak memiliki keharusan apapun terhadap makhluq, karena Dia adalah Penguasa Muthlaq.

Kedudukan Orang Berdosa
Al-Asy’ari menolak ajaran posisi menengah yang dianut Mu’tazilah. Iman merupakan lawan kufr, predikat bagi seseorang haruslah salah satu dari keduanya. Jika tidak mu`min, maka ia kafir. Mu`min yang berbuat dosa besar adalah mu`min yang fasiq, sebab iman tidak mungkin hilang karena dosa, kecuali oleh kafir haqiqi.
Perbedaan dan persamaan model pemahaman / pemikiran antara Asy`ariyah dan Maturidiyah bisa kita break-down menjadi beberapa point :

1. Tentang sifat Tuhan
Pemikiran Asy`ariyah dan Maturidiyah memiliki pemahaman yang relatif sama. Bahwa Tuhan itu memiliki sifat-sifat tertentu. Tuhan Mengetahui dengan sifat Ilmu-Nya, bukan dengan zat-Nya. Begitu juga Tuhan itu berkuasa dengan sifat Qudrah-Nya, bukan dengan zat-Nya.
2. Tentang Perbuatan Manusia.
Pandangan Asy`ariyah berbeda dengan pandangan Maturidiyah. Menurut Maturidiyah, perbuatan manusia itu semata-mata diwujudkan oleh manusia itu sendiri. Dalam masalah ini, Maturidiyah lebih dekat dengan Mu`tazilah yang secara tegas mengatakan bahwa semua yang dikerjakan manusia itu semata-mata diwujdukan oleh manusia itu sendiri.
3. Tentang Al-Quran
Pandangan Asy`ariyah sama dengan pandangan Maturidiyah. Keduanya sama-sama mengatakan bahwa Al-quran itu adalah Kalam Allah Yang Qadim. Mereka berselisih paham dengan Mu`tazilah yang berpendapat bahwa Al-Quran itu makhluq.
4. Tentang Kewajiban Tuhan
Pandangan Asy`ariyah berbeda dengan pandangan Maturidiyah. Maturidiyah berpendapat bahwa Tuhan memiliki kewajiban-kewajiban tertentu. Pendapat Maturidiyah ini sejalan dengan pendapat Mu`tazilah.

5. Tentang Pelaku Dosa Besar
Pandangan Asy`ariyah dan pandangan Maturidiyah sama-sama mengatakan bahwa seorang mukmin yang melakukan dosa besar tidak menjadi kafir dan tidak gugur ke-Islamannya. Sedangkan Mu`tazilah mengatakan bahwa orang itu berada pada tempat diantara dua tempat “Manzilatun baina manzilatain”.
6. Tentang Janji Tuhan
Keduanya sepakat bahwa Tuhan akan melaksanakan janji-Nya. Seperti memberikan pahala kepada yang berbuat baik dan memberi siksa kepada yang berbuat jahat.
7. Tetang Rupa Tuhan
Keduanya sama-sama sependapat bahwa ayat-ayat Al-Quran yang mengandung informasi tentang bentuk-bentuk pisik jasmani Tuhan harus ditakwil dan diberi arti majaz dan tidak diartikan secara harfiyah.

Reference:
- Ahmad Amin, Dhuha Al-Islam, Dar Al-Mishriyah, Kairo, 1946, hal. 92.
- Montgomery Watt, Islam Philosophy and Theology, Eidenburgh University Press, Eidenburgh, 1985, hal. 58.
- C.A. Qadir, Filsafat dan Ilmu Pengetahuan dalam Islam, Yayasan Obor, Jakarta, 1991, hal. 70.
- Muhammad bin Abdul Karim, Al-Milal wan Nihal, Darul Ma’rifah, Beirut, 1990, hal. 115.
- Abdul Qahir bin Thahir bin muhammad Al-Baghdadi, Al-Faraq bainal Firaq, Mesir, hal. 351.
- http://herrysyafrial.wordpress.com/2007/12/13/perbedaan-asyariyah-dan-wahaby/
- http://ibnuzuhdy.multiply.com/journal/item/4
- http://wiki.myquran.org/index.php/Mu%27taziliyah

interferensi dan integrasi

Interferensi
Istilah interferensi pertama kali digunakan oleh Weinreich (1953) untuk menyebut adanya perubahan system suatu bahasa sehubungan dengan adanya persentuhan bahasa tersebut dengan unsure-unsur bahasa lain yang dilakukan oleh penutur yang bilingual.
Interferensi adalah kekeliruan yang terjadi akibat terbawanya kebiasaan-kebiasaan ujaran bahasa ibu atau dialek ke dalam bahasa/dialek kedua.
Berkemampuan bahasa yang sejajar = penutur bilingual yang mempunyai kemampuan terhadap B1 dan B2 sama baiknya.
Berkemampuan bahasa yang majemuk = penutur bilingual yang kemampuan terhadap B2 jauh lebih rendah atau tidak sama dari kemampuan terhadap B1-nya.
• Interferensi yang terjadi pada proses interpretasi disebut interferensi reseptif, yaitu berupa pengggunaan bahasa B dengan diresapi unsur-unsur bahasa A.
• Interferensi yang terjadi pada proses representasi disebut interferensi produktif, yaitu berupa penggunaan bahasa A tetapi dengan unsur dan struktur B.
Interferensi reseptif dan interferensi produktif disebut juga interfernsi perlakuan.
Interferensi perlakuan biasanya terjadi pada mereka yang sedang belajar bahasa kedua yang lazim juga disebut interferensi belajar atau interferensi perkembangan.
Menurut Weinreich, interferensi yang tampak dalam perubahan sistem suatu bahasa baik sistem fonologi, morfologi maupun sistem yang lainnya.
a. Bidang Fonologi
Contoh: mBandung, nDepok, ngGombong, nyJambi = pada bahasa jawa
b. Bidang Morfologi : terdapat dalam pembentukan kata dengan afiks.
Contoh: neonisasi, nasionalisasi
c. Bidang Sintaksis
Contoh: "Disini toko Laris yang mahal sendiri"
Penggunaan serpihan kata, frase dan klausa di dalam kalimat juga dianggap interferensi dalam kalimat

Integrasi
Menurut Mackey, integrasi adalah unsur-unsur bahasa lain yang digunakan dalam bahasa tertentu dan dianggap sudah menjadi warga bahasa tersebut. Tidak dianggap lagi sebagai unsur pinjaman atau pungutan.
Proses penerimaan unsur bahasa asing:
a. Dilakukan secara audial = penutur Indonesia mendengar butir-butir leksikal itu dituturkan oleh penutur aslinya, lalu mencoba menggunakannya. Apa yang terdengan oleh telinga, itulah yang diujarkan lalu dituliskan.
Contoh: Kloyo →eau de cologne, dongkrak → dome kracht
b. Dilakukan secara visual = penyerapan itu dilakukan melalui bentuk tulisan dalam bahasa asli, lalu disesuaikan dengan aturan yang terdapat dalam dokumen kebahasaan.
Selain penyerapan kata asing itu yang disertai dengan penyesuaian lafal dan ejaan, dapat pula dilakukan dengan cara:
1. Penerjemahan langsung = kosakata dicarikan padanannya dalam bahasa bahasa Indonesia.
Contoh airport menjadi bandar udara
2. Penerjemahan konsep = kosakata asing diteliti baik-baik konsepnya lalu dicarikan kosakata bahasa Indonesia yang konsepnya dekat dengan kosakata asing tersebut.
Contoh: network menjadi jaringan, brother in law menjadi ipar laki-laki

analisis the star

“The Star”

Analysis “The Star”

The story opens with the unnamed first-person narrator musing that at one time he had believed that his travels in outer space could not alter his faith in God. We can learn that he is a Jesuit as well as an astrophysicist. He is aboard a starship returning from a scientific mission three thousand light-years from Earth. Something he learned on this mission, as yet unknown to the rest of the scientists and crew, has caused him to question his faith. He reflects regretfully that the data gathered on the mission will soon make the cause of his own doubt—‘‘this ultimate irony’’—known to everyone.
The narrator reflects on the ‘‘private, good-natured, but fundamentally serious war’’ that the largely irreligious crew has waged with him during the long mission. He thinks amused them to have a Jesuit as chief astrophysicist.
In the first paragraph there is brief indication of religious symbols such as three thousand light years to the Vatican and Crucifix. The first of the two symbols I point out is the reference of their time in accordance to our time. The setting of this story takes place three Thousand light years to the Vatican. The great distance these travelers have to travel before they reach the greatest holy place for Catholics will happen three thousand light years.
The opening of The Star introduces the main conflict of the story a crisis of religious faith. We find the narrator, a Jesuit astrophysicist, on a mission in the far reaches of space. Something awful has happened out there that has made him question his Christian beliefs. "I stare at the crucifix that hangs on the cabin wall... and for the first time in my life I wonder if it is no more than an empty symbol."
Yet, at this early stage in the story, we do not know what has caused the Jesuit's despair, and Clarke keeps us guessing right until the end. We do not even learn that the main character is a Jesuit astrophysicist until the third paragraph, by which time we know that he is on a space shuttle carrying a precious mission.
Central themes in ‘The Star’ are religion and in particular religious faith. The narrative is the interior monologue of the central character, a Jesuit astrophysicist. He is aboard a starship on a mission to investigate the causes of a supernova in a distant galaxy. He and the rest of the crew discover the artifacts of a highly developed civilization, carefully preserved on the only planet that remains in orbit around the supernova. Knowing that all life would be wiped out when their sun flared into a supernova, this race of sentient beings left a record of who they were and what they accomplished. The pictures, sculptures, music, and other relics of a very human-like race doomed to destruction depress the crew and investigating scientists, who are far from their own homes and lonely. What the narrator has learned but not yet communicated to the others is that the supernova that destroyed this civilization was the Star of Bethlehem, which burned brightly in the sky to herald the birth of Jesus Christ. His discovery has caused him to reexamine and to question his own faith.
The entire story consists of the male narrator's reflections on what he has learned during a scientific mission to investigate a "white dwarf," a sun in a distant galaxy that became a supernova and burned itself out thousands of years earlier. The reader learns that he is a Jesuit priest and an astrophysicist aboard a starship and that he has been fighting a "private, good-natured, but fundamentally serious.
- Themes
The most important theme in "The Star" is the opposition of religion and science. We as reader are presented with a very religious narrator who has his faith seriously shaken. The narrator has long attempted to show that science and religion are compatible. He believed that science affirms the existence of God and helps humanity to appreciate the dependence of science on the intricacies of God's ultimate plan. A large part of his faith was founded in the belief that humankind achieved redemption from sin through the birth, death, and resurrection of Jesus Christ. When the narrator calculates that the explosion of the supernova, wiping out an entire sentient, human-like race, was the star of Bethlehem, he is thrown into doubt. How can he reconcile his believe that God created all things with perfectly without interpose mistaken.
- Point of View and Narration
"The Star" is a first person narration by an astrophysicist who is also a Jesuit. The narrative unfolds for the reader the emotions of this individual as he tries to comes to terms with the knowledge he has gained on a scientific mission to a distant galaxy— knowledge that has caused him for the first time to question his faith.
- Foreshadowing and Irony
In the course of the story, the reader is given clues to the ironic outcome of the story. One of the first occurs in the opening paragraph when the narrator says, “Once, I believed that space could have no power over faith . . . that the heavens declared the glory of God's handiwork" (emphasis added).
"The Star" makes a strong statement about human nature by blending literary elements like character, setting, and conflict with an entertaining narrative. Although the story is set in the future, Clarke's realistic characters still behave like people we may know. But their behavior is spurred by an event that is both familiar and puzzling.

Main Points as we read in “the Star”:
o The main character in this story is a Jesuit monk, a member of the Society of Jesus (a Catholic religious order founded by Ignatius Loyola in 1534).
o Jesuits devote their lives to missionary and educational work and are also known as the intellectuals of the church.
o The story makes a reference to a painting by Paul Rubens (1577-1640), a Flemish artist who painted a well-known picture of Loyola.
o The story mentions two Latin phrases. The first, AD MAJOREM DEI GLORIUM, means "For the greater glory of God." The second is the Exercitia Spiritualia, which means "Spiritual Exercises," a book written by Loyola, which the Jesuits use for guidance.

His science fiction story called “The Star” has many religious and spiritual overtones which makes the theme of the story ‘There always has to be one to save all” more obvious. From the first to the last sentence the theme was built throughout to be a parallel experience of what has happened to the people before the great flood. Like many great science fiction stories this one shares a great message of hope in the unknown and to be glad that we have been so lucky to survive whatever we were supposed to have survived.


Reference:

- “The Star”, Arthur C. Clarke.
- http://lucis.net/stuff/clarke/star_clarke.html
- http://www.bookrags.com/studyguide-thestar/topic.html

Minggu, 27 September 2009

the Black Madonna

Comments about “the Black Madonna”

I think this story concern the gap between the whites and the blacks and the discovery that the later has pride and justifiable resentment. The girl who wanders into the native village describes wonderfully the feeling of alienation that the natives must feel back in her world.
The author manages to use a few pages to deal with racial, class and sexual issues that other writers might have resorted to acres of print to get the same message across. Her character portraits are deep but never overpowering and there is often an autobiographical feel to it with the leading characters being young girls.
Most of these stories reserve the insight into the racial colonial world to girls and women. That is something that might make me read more because there is a style here that is distinctive.
In the Black Madonna an Italian prisoner of war manages to befriend a captain and unlock his tongue with brandy but also the power of art. The Black Madonna in question both scares and attracts the captain who is envious in a way of the Italian’s simple view of love and the world. That is maybe the advantage he has being the captured man. He shows friendship for the captain but when spurned knows how to wound him deeply with just a couple of words.

Comments about A dan P

Comments about "A&P"

After reread again, I think John Updike's story "A&P" brings us into question the difference between innocence and immaturity. There is a distinct difference between these states. Innocence is the purer of the two.

In John Updike's story A&P. Sammy is an innocent young man. Because of his innocence, he quits his job over three immature young women. These young women know better than to try what they do in the story, but they are not mature enough to realize how wrong it is.

I think that Sammy, the narrator of John Updike's short story A & P, reveals much about himself by the phraseology of his opening sentence: "In walks these three girls in nothing but bathing suits."

His grammar is flawed, but perhaps he is only being conversationally casual. Within a couple of pages he tells us that he turned 19 last April. Presumably he has just graduated from high school.

Comments about “The Dead”

Comments about “The Dead”

I think that “The Dead” is a story about love, lost loves, and the inability to forget those who have been loved and lost.

After reading the story, I have a view that in “The Dead” Joyce establishes that people are equal, across the board, as human beings and should be treated as such. Throughout the collection the reader gets selective glimpses of characters. I see the most intimate often harsh reality of a character. Over time it is easy for this to make a reader judgmental of people.

“The Dead” is meant to remind readers that they–the readers–are people as well. Joyce makes this fair warning through Gabriel, who sees himself as superior to others. If, in fact, the readers have come to see themselves in some way as superior to the characters in the stories, then Gabriel is a sort of mirror image. I notice this in “the condescending insincerity in Gabriel’s manner”.

“The Dead” takes on in order to take us out of the stories in Dubliners is to show the power of language and how it can be a trap. There is some irony in Gabriel becoming trapped by language, when, given his education, we would assume he would have greater mastery and control over language. The most prominent scene is when Gabriel comes up behind his wife in the “gloom of the hall” and begins to describe her in her “grace and mystery … as if she were a symbol of something”;

In as little as the last few paragraphs, Joyce gives us a much needed feeling of closure that we do not often get in the other stories and essentially tells us that it is now okay to close the back cover on the book. “A few light taps upon the pane made him turn to the window. It had begun to snow again. He watched sleepily …”
With Gabriel, I see him as a hopeful man who in reality is broken. I do not think that he has an epiphany at the end of “The Dead.” Obviously, there are plenty who would disagree with me and hold the opposite view.
Gabriel sees the world poetically and not as it really is. The way he recreates things in his mind towards a poetic idealism obscures the way things really are. At the end, he creates a poetic refrain that is accurate in some ways, but Gabriel does not really understand the truth of his situation.
The “descent of their last end” refers to death. The snow is meant to symbolize an inclusion of everything. The snow falls over everything, so everything is united by the snow. Both living and dead are subject to the world around, but Gabriel misses that, even as he alludes to it in his thoughts at the end. He doesn’t really have an epiphany because he doesn’t see himself as he really is — he just thinks he does.
Comments about “Her first ball”

I think this story says to me that time and age is disregarding the past - A step in one direction requires ignorance or forgetting the previous. Not a universal them but at least to Leila and maybe a biographical insight.

“Her First ball” indicates us to think more carefully about our future and that nothing will last forever, ever thing will vanish. But that doesn’t mean that we shouldn’t enjoy our life and keep thinking in future results, that’s wrong we should enjoy our life and we should also consider what will happen to us in the future.

Leila begins rather innocently- she over romanticizes the ball in her youthful illusions. She is the face of youth, and she is not prepared for the cruel future. She almost reaches an epiphany (a realisation of the truth) but is distracted by her idealistic views- when a gentleman asks her to dance. The Author truly captures the innocence of youth in this story.

I think the author have investigated a myriad of influences on her life and work. Underlying themes of sexuality and homoeroticism have become another fertile topic of critical discussion.

Jumat, 25 September 2009

PTC (paid to click)

URL PTC

https://bux3.com/view.php?ad=6659

http://intoffers.com/members/viewPTC.php?hash=fc9f4b989d8bcec96f0d078aa0cebcaa&ptcID=968

https://bux3.com/view.php?ad=6663

http://www.ara-bux.com/view.php?ad=316

http://intoffers.com/members/viewPTC.php?hash=d803857aeef273d1213955e94a8634da&ptcID=1255

http://intoffers.com/members/viewPTC.php?hash=19b084b8d5ef81f24044bb541a645e8b&ptcID=1257

http://www.ara-bux.com/view.php?ad=313

http://intoffers.com/members/viewPTC.php?hash=b524e2856cb47b4163daf5ba2f80ee44&ptcID=1256

http://intoffers.com/members/viewPTC.php?hash=d3e0fad58cac22bb070206535ec5251c&ptcID=1254

http://www.ara-bux.com/view.php?ad=310

http://intoffers.com/members/viewPTC.php?hash=a833b1bc5ea96a3ad5ba09089b1a5257&ptcID=1002

http://intoffers.com/members/viewPTC.php?hash=800781e88e93eed6c429b85099e051db&ptcID=1101

http://www.ara-bux.com/view.php?ad=312

https://bux3.com/view.php?ad=6658

http://intoffers.com/members/viewPTC.php?hash=722f8847ee1105ebf93871a4e0ce74d8&ptcID=29

https://bux3.com/view.php?ad=2536

http://intoffers.com/members/viewPTC.php?hash=e2c09963f54202a3e7fcd4f5baeba8ea&ptcID=976

http://www.ara-bux.com/view.php?ad=561

http://intoffers.com/members/viewPTC.php?hash=2d9f76b5448844d997167e238b52e490&ptcID=28

http://www.ara-bux.com/view.php?ad=571

http://intoffers.com/members/viewPTC.php?hash=2f291a7141a3943f72e500df6118c012&ptcID=30

https://bux3.com/view.php?ad=4442

http://intoffers.com/members/viewPTC.php?hash=231bca136a4bc8791a13bf703530f2e4&ptcID=1349

https://bux3.com/?r=ardian

https://247bux.com/?r=ardian

http://Indoptc.com/?r=sabowo

http://buxout.com/?act?i=301519&c=f07a3839ac4e8cb18ee5c288e9e6a991


http://uangpanas.com/?id=sabo_87

Selasa, 15 September 2009

JABARIYAH

JABARIYAH


Dalam bahasa arab kata "Jabariyah" berasal dari kata "Jabara" yang artinya memaksa. Dan yang dimaksud adalah suatu golongan atau aliran atau kelompok yang berfaham bahwa semua perbuatan manusia bukan atas kehendak sendiri, namun ditentukan oleh Allah SWT. Dalam arti bahwa setiap perbuatan yang dilakukan oleh manusia baik perbuatan buruk, jahat dan baik semuanya telah ditentukan oleh Allah SWT dan bukan atas kehendak atau adanya campur tangan manusia.
Sejarah Jabariyah
Penamaan Jabariyah diterapkan di masa kerajaan Ummayyah (660-750 M). Yakni di masa keadaan keamanan sudah pulih dengan tercapainya perjanjian antara Muawiyah dengan Hasan bin Ali bin Abu Thalib, yang tidak mampu lagi menghadapi kekuatan Muawiyah. Maka Muawiyah mencari jalan untuk memperkuat kedudukannya. Di sini ia bermain politik yang licik. Ia ingin memasukkan di dalam pikiran rakyat jelata bahwa pengangkatannya sebagai kepala negara dan memimpin ummat Islam adalah berdasarkan "Qadha dan Qadar/ketentuan dan keputusan Allah semata" dan tidak ada unsur manusia yang terlibat di dalamnya.
Awal Kemunculan Jabariyah

Golongan Jabariyah pertama kali muncul di Khurasan (Persia) pada saat munculnya golongan Qodariyah, yaitu kira-kira pada tahun 70 H. Aliran ini dipelopori oleh Jahm bin Shafwan, aliran ini juga disebut Jahmiyah. Jahm bin Shafwan-lah yang mula-mula mengatakan bahwa manusia terpasung, tidak mempunyai kebebasan apapun, semua perbuatan manusia ditentukan Allah semata, tidak ada campur tangan manusia.
Paham Jabariyah dinisbatkan kepada Jahm bin Shafwan karena itu kaum Jabariyah disebut sebagai kaum Jahmiyah, Namun pendapat lain mengatakan bahwa orang yang pertama mempelopori paham jabariyah adalah al-Ja'ad bin Dirham, dia juga disebut sebagai orang yang pertama kali menyatakan bahwa Al-Quran itu makhluq dan meniadakan sifat-sifat Allah. Disamping itu kaum Jahmiyah juga mengingkari adanya ru'ya (melihat Allah dengan mata kepala di akhirat). Meskipun kaum Qadariyah dan Jahmiyah sudah musnah namun ajarannya masih tetap dilestarikan. Karena kaum Mu'tazilah menjadi pewaris kedua pemahaman tersebut dan mengadopsi pokok-pokok ajaran kedua kaum tersebut. Selanjutnya ditangan Mu'tazilah paham-paham tersebut segar kembali. Sehingga Imam As-Syafi'i menyebutnya Wasil, Umar, Ghallan al-Dimasyq sebagai tiga serangkai yang seide itulah sebabnya kaum Mu'tazilah dinamakan juga kaum Qadariyah dan Jahmiyah.
Disebut Qadariyah karena mereka mewarisi isi paham mereka tentang penolakan terhadap adanya takdir, dan menyandarkan semua perbuatan manusia kepada diri sendiri tanpa adanya intervensi Allah.
Disebut Jahmiyah karena mereka mewarisi dari paham penolakan mereka yang meniadakan sifat-sifat Allah, Al-quran itu Makhluk, dan pengingkatan mereka mengenai kemungkinan melihat Allah dengan mata kepala di hari kiamat.
Berkaitan dengan hal ini, Ibnu Taimiyah mengatakan bahwa sebagai pengikut Mu'tazilah adalah Jahmiyah tetapi tidak semua Jahmiyah adalah Mu'tazilah, karena kaum Mu'tazilah berbeda pendapat dengan kaum Jahmiyah dalam masalah Jabr (hamba berbuat karena terpaksa). Kalau kaum Mu'tazilah menafikanya maka kaum Jahmiyah meyakininya.
Dalil-Dalil Al Qur'an
Allah SWT berfirman, "Ítulah hari yang pasti terjadi. Maka barang siapa yang menghendaki, niscaya ia menempuh jalan kembali kepada Tuhannya."(QS. An Naba: 29)
Firman Allah SWT : "Istri-istrimu adalah seperti tanah tempat kamu bercocok tanam, maka datangilah tanah tempat bercocok-tanammu itu sebagaimana saja kamu kehendaki. (QS. Al Baqarah : 223)
Fokus pengambilan dalil dari kedua ayat di atas, bahwa Allah SWT memberikan kebebasan kepada manusia untuk menempuh jalan yang dapat mengantarkannya menuju keridhaanNya. Allah juga memberikan mereka kebebasan untuk mendatangi istri-istri mereka pada tempat yang ditetapkan sekehendak mereka.

Dalil-Dalil Dari As Sunnah

Rasulullah SAW bersabda : "Setiap orang diantara kalian telah ditetapkan tempat duduknya di surga atau di neraka." Lalu mereka bertanya, "Ya Rasulullah, mengapa kita tidak bersandar kepada Kitab kita dan meninggalkan usaha?" Beliau menjawab, "Berusahalah karena semua itu akan memudahkan untuk menuju apa yang telah ditakdirkan kepadanya." (HR. Bukhari dan Muslim)

Dalil-Dalil Dari Akal

Setiap orang tahu bahwa dirinya mempunyai kehendak dan kemampuan untuk mengerjakan keduanya sesuai dengan keinginannya dan meninggalkan apa yang diinginkannya. Dia bisa membedakan sesuatu yang terjadi karena keinginannya sendiri karena merasa bertanggungjawab terhadapnya dan sesuatu yang tanpa disengaja sehingga dia merasa lepas tanggung jawab terhadapnya. Seperti orang yang mimpi basah di siang bulan ramadhan, maka puasanya tidak batal karena hal itu terjadi karena bukan pilihan orang itu. Tetapi jika orang itu dengan sengaja melakukan onani sehingga keluar air mani, maka batallah puasanya karena hal itu terjadi akibat kehendak dan pilihannya.

"(Yaitu) bagi siapa diantara kamu yang mau menempuh jalan yang lurus. Dan kamu tidak dapat menghendaki (menempuh jalan itu) kecuali apabila dikehendaki Allah, Tuhan semesta alam." (QS. At-Takwir : 28-29)

Ayat tersebut menegaskan bahwa manusia mempunyai kehendak yang masuk dalam kehendak Allah SWT.

Imam Ahmad pernah ditanya oleh seseorang yang berkata bahwa Allah memaksa manusia atas semua perbuatan mereka. Beliau menjawab, "Kita tidak berpendapat demikian dan kami mengingkarinya." Beliau berkata, "Allah menyesatkan siapa yang berkehendak dan memberikan petunjuk kepada siapa yang berkehendak.." Lalu datanglah kepadanya seorang lelaki seraya berkata, "Seorang laki-laki berkata, "Allah memaksa manusia untuk taat." Beliau menjawab, "Alangkah buruknya apa yang dikatakannya."

Ciri - Ciri Ajaran Jabariyah:

1. Bahwa manusia tidak mempunyai kebebasan dan ikhtiar apapun, setiap perbuatannya baik yang jahat, buruk atau baik semata Allah semata yang menentukannya.
2. Bahwa Allah tidak mengetahui sesuatu apapun sebelum terjadi.
3. Ilmu Allah bersifat Huduts (baru)
4. Iman cukup dalam hati saja tanpa harus dilafadhkan.
5. Bahwa Allah tidak mempunyai sifat yang sama dengan makhluk ciptaanNya.
6. Bahwa surga dan neraka tidak kekal, dan akan hancur dan musnah bersama penghuninya, karena yang kekal dan abadi hanyalah Allah semata.
7. Bahwa Allah tidak dapat dilihat di surga oleh penduduk surga.
8. Bahwa Alqur'an adalah makhluk dan bukan kalamullah.

Qadha dan Qadar Serta Makna Takdir Allah Menurut Jabariyah
Aliran Jabariyah berpendapat mengatakan segala sesuatu yang terjadi pada manusia atau jagad raya ini meupakan kehendak Allah semata tanpa peran serta sesuatu pun termasuk di dalamnya adalah perbuatan-perbuatan maksiat yang dilakukan oleh manusia. Aliran Jabariyah mengibaratkan bahwa perbuatan manusia tak ubah seperti dedanunan yang bergerak diterpa angin atau dalam ilustrasi yang sangat sederhana bisa dicontohkan bahwa aliran Jabariyah menggambarkan manusia bagaikan robot yang disetir oleh remote kontrol.

Perbuatan, Kehendak Manusia Dengan Qudrat Iradat Allah Menurut Jabariyah
Para Ulama Pengikut aliran Jabariyah, berpendapat bahwa semua perbuatan yang dilakukan oleh manusia merupakan kehendak dan ketetapan Allah. Manusia tidak mempunai peran atas segala perbuatannya. Perbuatan baik dan kejahatan yang dilakukan oleh manusia merupakan Qudrat dan Iradat (kekuasaan atau kehendak) Allah.
Ulama aliran Jabariyah mengesampingkan usaha dan ikhtiar manusia. Dengan kata lain manusia tidak mempunyai peran apa-apa atas kehendak dan perbuatannya, semuanya berdasarkan Qadha dan Qadar Allah, Kalau semua perbuatan manusia merupakan ketetapan dan kehendakan Allah mengapa manusia harus diberi pahala jika menjalani suatu kebaikan. Sebagaimana firman Allah dalam Al-Quran:

Artinya: " Barangsiapa ta'at kepada Allah dan Rasul-Nya, Niscaya Allah memasukannya ke dalam surga yang mengalir didalamnya sungai-sungai, sedang mereka kekal didalamnya; dan itulah kemenangan yang besar". (QS: 4: An-Nisa': 13)

Allah juga akan memberikan siksa kepada hambaNya yang selalu berbuat dosa artinya tidak mau ta'at kepada Allah dan rasul-Nya. Yakni tidak mau meninggalkan semua larangan-Nya dan tidak mau menjalankan semua perintah-Nya. Sebagaimana firman Allah:

Arinya: "Dan Barangsiapa yang mendurhakai Allah dan Rasul-Nya dan melanggar ketentuan-ketentuan-Nya, Niscaya Allah memasukkannya ke dalam api neraka sedang ia kekal di dalamnya; dan baginya siksa yang menghinakan". (QS: 4: An-Nisaa':14)

Dilihat dari sisi lain pendapat 'Ulama Jabariyah kurang kuat karena: Untuk apa pula Allah memberi petunjuk, kabar gembira dan memberikan peringatan melalui para Rasul-Nya agar manusia dapat mengerti antara haq dan yang bathil sebagaimana firman Allah:
Artinya: "Dan tidaklah Kami mengutus rasul-rasul melainkan sebagai pembawa berita gembira dan sebagai pemberi peringatan" (QS:18: Al-Kahfi: 56)
Dari beberapa Kutipan Ayat suci Al-Quran diatas maka pendapat ulama Jabariyah menjadi lemah. Sementara itu Yusuf Al Qardhawi memandang bahwa aliran Jabariyah hanya memandang satu sifat kekuasaan Allah dan tidak memandang keadilan dan kebijaksanaan-Nya; sehingga semua perbuatan yang dilakukan disandarkan pada takdir Allah. Dengan kata lain aliran Jabariyah menafikan fungsi dan peran Rasul Allah serta ancaman yang akan diberikan kepada pelanggar (durhaka) tatanan nilai Ilahiyah (syari'ah agama) dan pahala bagi para pelaksana (bertaqwa) tatanan nilai Ilahiyah (sayri'ah agama). Hal ini menurut Jalaluddin Ar-Rumi bahwa: Sekiranya manusia dalam keadaan terkekang seperti pendapat aliran Jabariyah, maka tidak mungkin jika dia dibebani perintah dan larangan, atau disuruh untuk menjalankan syari'at dan hukum Islam. Karena sesungguhnya Al-Qur'an itu berisikan perintah dan larangan.
Jabariah sebagai penolakan terhadap pandangan kaum qadariyah, munculnya kaum Jabariyah yang berpendapat bahwa perbuatan manusia itu baik dan buruk, semuannya berasal dari Allah. Jika perbuatan tersebut disebut sebagai perbuatan manusia, maka hal ini hanya kiasan saja. Seperti saat kita menyatakan bahwa sungai itu mengalir, padahal pada hakikatnya Tuhanlah yang mengalirkannya. Manusia menurut pandangan kaum Jabariyah tak ubahnya seperti bulu ayam yang bertebangan ditiup angin (karena itulah maka kaum Jabariyah dan kaum qadariyah dikatakan dua golongan yang satu sama lainnya saling bertolak belakang.
Berdasarkan keyakinan seperti ini maka kaum Jabariyah memiliki pandangan yang meniadakan sifat dan nama Allah, sementara Al-kalam (firman Allah) yang merupakan sifat Allah menurut pendapat mereka adalah hadis (sesuatu yang baru).

Referensi:
- A. Said Aqil Humam Abdurrahman, Penjelasan menyeluruh tentang Qadha dan Qadar, Al-Azhar Press, Bogor:2004
- Abu Lubaba, Husein, Pemikiran Hadist Mu'tazilah, Pustaka Firdaus, Jakarta
- DR. Fuad Mohd. Fachruddin, Sejarah Perkembangan Pemikiran dalam Islam, CV. Yasaguna, Jakarta: 1990
- Dr. Said bin Musfin Al-Qahthani, Buku Putih Syekh Abdul Qadir Al-Jaelani, Penerbit Buku Islam Kaffah, Jakarta: 2003
- Drs. Muhammad Sufyan Raji Abdullah, Lc., Mengenal Aliran-aliran Islam dan ciri-ciri ajarannya, Pustaka Al-Riyadl, Jakarta: 2003
- Sutrisna Sumadi, Sag. dan Rafi'udin, Sag., Kebebasan Manusia atas Takdir Allah berdasar Konsep Penciptaan Nabi Adam a.s, Pustaka Quantum, Jakarta: 2003

aliran murji'ah

MURJI'AH

A. Pengertian Aliran Murji’ah
Kata Murji’ah berasal dari kata bahasa Arab arja’a, yarji’u, yang berarti menunda atau menangguhkan. Salah satu aliran teologi Islam yang muncul pada abad pertama Hijriyah. Pendirinya tidak diketahui dengan pasti, tetapi Syahristani menyebutkan dalam bukunya Al-Milal wa an-Nihal (buku tentang perbandingan agama serta sekte-sekte keagamaan dan filsafat) bahwa orang pertama yang membawa paham Murji’ah adalah Gailan ad-Dimasyqi.
Aliran ini disebut Murji’ah karena dalam prinsipnya mereka menunda penyelesaian persoalan konflik politik antara Ali bin Abi Thalib, Mu’awiyah bin Abi Sufyan dan Khawarij ke hari perhitungan di akhirat nanti. Karena itu mereka tidak ingin mengeluarkan pendapat tentang siapa yang benar dan siapa yang dianggap kafir diantara ketiga golongan yang tengah bertikai tersebut. Menurut pendapat lain, mereka disebut Murji’ah karena mereka menyatakan bahwa orang yang berdosa besar tetap mukmin selama masih beriman kepada Allah SWT dan rasul-Nya. Adapun dosa besar orang tersebut ditunda penyelesaiannya di akhirat. Maksudnya, kelak di akhirat baru ditentukan hukuman baginya.
Persoalan yang memicu Murji’ah untuk menjadi golongan teologi tersendiri berkaitan dengan penilaian mereka terhadap pelaku dosa besar. Menurut penganut paham Murji’ah, manusia tidak berhak dan tidak berwenang untuk menghakimi seorang mukmin yang melakukan dosa besar, apakah mereka akan masuk neraka atau masuk surga. Masalah ini mereka serahkan kepada keadilan Tuhan kelak. Dengan kata lain mereka menunda penilaian itu sampai hari pembalasan tiba.
Paham kaum Murji’ah mengenai dosa besar berimplikasi pada masalah keimanan seseorang. Bagi kalangan Murji’ah, orang beriman yang melakukan dosa besar tetap dapat disebut orang mukmin, dan perbuatan dosa besar tidak mempengaruhi kadar keimanan. Alasannya, keimanan merupakan keyakinan hati seseorang dan tidak berkaitan dengan perkataan ataupun perbuatan. Selama seseorang masih memiliki keimanan didalam hatinya, apapun perbuatan atau perkataannya, maka ia tetap dapat disebut seorang mukmin, bukan kafir. Murji’ah mengacu kepada segolongan sahabat Nabi SAW, antara lain Abdullah bin Umar, Sa’ad bin Abi Waqqas, dan Imran bin Husin yang tidak mau melibatkan diri dalam pertentangan politik antara Usman bin Affan (khalifah ke-3; w. 656) dan Ali bin Abi Thalib (khalifah ke-4; w. 661).
B. Latar Belakang Munculnya Aliran Murji’ah
Munculnya aliran ini di latar belakangi oleh persoalan politik, yaitu persoalan khilafah (kekhalifahan). Setelah terbunuhnya Khalifah Usman bin Affan, umat Islam terpecah kedalam dua kelompok besar, yaitu kelompok Ali dan Mu’awiyah. Kelompok Ali lalu terpecah pula kedalam dua golongan, yaitu golongan yang setia membela Ali (disebut Syiah) dan golongan yang keluar dari barisan Ali (disebut Khawarij). Ketika berhasil mengungguli dua kelompok lainnya, yaitu Syiah dan Khawarij, dalam merebut kekuasaan, kelompok Mu’awiyah lalu membentuk Dinasti Umayyah. Syi’ah dan Khawarij bersama-sama menentang kekuasaannya. Syi’ah menentang Mu’awiyah karena menuduh Mu’awiyah merebut kekuasaan yang seharusnya milik Ali dan keturunannya. Sementara itu Khawarij tidak mendukung Mu’awiyah karena ia dinilai menyimpang dari ajaran Islam. Dalam pertikaian antara ketiga golongan tersebut terjadi saling mengafirkan. Di tengah-tengah suasana pertikaian ini muncul sekelompok orang yang menyatakan diri tidak ingin terlibat dalam pertentangan politik yang terjadi. Kelompok inilah yang kemudian berkembang menjadi golongan Murji’ah.
Dalam perkembanganya, golongan ini ternyata tidak dapat melepaskan diri dari persoalan teologis yang muncul di zamannya. Waktu itu terjadi perdebatan mengenai hukum orang yang berdosa besar. Kaum Murji’ah menyatakan bahwa orang yang berdosa besar tidak dapat dikatakan sebagai kafir selama ia tetap mengakui Allah SWT sebagai Tuhannya dan Muhammad SAW sebagai rasul-Nya. Pendapat ini merupakan lawan dari pendapat kaum Khawarij yang mengatakan bahwa orang Islam yang berdosa besar hukumnya adalah kafir.
Golongan Murji’ah berpendapat bahwa yang terpenting dalam kehidupan beragama adalah aspek iman dan kemudian amal. Jika seseorang masih beriman berarti dia tetap mukmin, bukan kafir, kendatipun ia melakukan dosa besar. Adapun hukuman bagi dosa besar itu terserah kepada Tuhan, akan ia ampuni atau tidak. Pendapat ini menjadi doktrin ajaran Murji’ah.
C. Ajaran aliran Murji’ah
Dalam perjalanan sejarah, aliran ini terpecah menjadi dua kelompok, yaitu kelompok moderat dan kelompok ekstrem. Tokoh-tokoh kelompok moderat adalah Hasan bin Muhammad bin Ali bin Abi Thalib, Abu Hanifah (Imam Hanafi), Abu Yusuf dan beberapa ahli hadits. Kelompok moderat tetap teguh berpegang pada doktrin Murji’ah diatas. Kelompok ekstrem terbagi lagi ke dalam beberapa kelompok, seperti Al-Jahamiyah, Ash-Shalihiyah, Al-Yunusiyah, Al-Ubaidiyah, Al-Ghailaniyah, As-Saubaniyah, Al-Marisiyah, dan Al-Karamiyah.
Al-Jahamiyah di pelopori oleh Jahm bin Safwan. Menurut paham ini, iman adalah mempercayai Allah SWT, rasul-rasul-Nya, dan segala sesuatu yang datangnya dari Allah SWT. Sebaliknya, kafir yaitu tidak mempercayai hal-hal tersebut diatas. Apaila seseorang sudah mempercayai Allah SWT, rasul-rasul-Nya dan segala sesuatu yang datang dari Allah SWT, berarti ia mukmin meskipun ia menyatakan dalam perbuatannya hal-hal yang bertentangan dengan imannya, seperti berbuat dosa besar, menyembah berhala, dan minum-minuman keras. Golongan ini juga meyakini bahwa surga dan neraka itu tidak abadi, karena keabadian hanya bagi Allah SWT semata.
As-Shalihiyah diambil dari nama tokohnya, Abu Hasan As-Shalihi. Sama dengan pendapat Al-Jahamiyah, golongan ini berkeyakinan bahwa iman adalah semata-mata hanya ma’rifat kepada Allah SWT, sedangkan kufur (kafir) adalah sebaliknya. Iman dan kufur itu tidak bertambah dan tidak berkurang.
Al-Yunusiyah adalah pengikut Yunus bin An-Namiri. Menurut golongan ini, iman adalah totalitas dari pengetahuan tentang Tuhan, kerendahan hati, dan tidak takabur; sedang kufur kebalikan dari itu. Iblis dikatakan kafir bukan karena tidak percaya kepada Tuhan, melainkan karena ketakaburannya. Mereka pun meyakini bahwa perbuatan jahat dan maksiat sama sekali tidak merusak iman.
Al-Ubaidiyah di pelopori oleh Ubaid Al-Muktaib. Pada dasarnya pendapat mereka sama dengan sekte Al-Yunusiyah. Pendapatnya yang lain adalah jika seseorang meninggal dalam keadaan beriman, semua dosa dan perbuatan jahatnya tidak akan merugikannya. Perbuatan jahat, banyak atau sedikit, tidak merusak iman. Sebaliknya, perbuatan baik, banyak atau sedikit, tidak akan memperbaiki posisi orang kafir.
Al-Ghailaniyah di pelopori oleh Ghailan Ad-Dimasyqi. Menurut mereka, iman adalah ma’rifat kepada Allah SWT melalui nalar dan menunjukkan sikap mahabah dan tunduk kepada-Nya.
As-Saubaniyah yang dipimpin oleh Abu Sauban mempunyai prinsip ajaran yang sama dengan paham Al-Ghailaniyah. Hanya mereka menambahkan bahwa yang termasuk iman adalah mengetahui
dan mengakui sesuatu yang menurut akal wajib dikerjakan. Berarti, kelompok ini mengakui adanya kewajiban-kewajiban yang dapat diketahui akal sebelum datangnya syari’at.
Al-Marisiyah di pelopori oleh Bisyar Al-Marisi. Menurut paham ini, iman disamping meyakini dalam hati bahwa tiada Tuhan selain Allah SWT dan Muhammad SAW itu rasul-Nya, juga harus di ucapkan secara lisan. Jika tidak di yakini dalam hati dan diucapkan dengan lisan, maka bukan iman namanya. Adapun kufur merupakan kebalikan dari iman.
Al-Karamiyah yang perintisnya adalah Muhammad bin Karram mempunyai pendapat bahwa iman adalah pengakuan secara lisan dan kufur adalah pengingkaran secara lisan. Mukmin dan kafirnya sesseorang dapat di ketahui melalui pengakuannya secara lisan.
Sebagai aliran yang berdiri sendiri, kelompok Murji’ah ekstrem sudah tidak didapati lagi sekarang. Walaupun demikian, ajaran-ajarannya yang ekstrem itu masih didapati pada sebagian umat Islam. Adapun ajaran-ajaran dari kelompok Murji’ah moderat, terutama mengenai pelaku dosa-dosa besar serta pengertian iman dan kufur, menjadi ajaran yang umum disepakati oleh umat Islam.

Pandangan Aliran Murji'ah Ekstrim dan Moderat Tentang Status Pelaku Dosa Besar

Pandangan aliran Murji'ah tentang status pelaku dosa besar dapat ditelusuri dari definisi iman yang dirumuskan oleh masing-masing aliran.

1. Murji'ah Ekstrim
Murji'ah Ekstrim mengatakan, bahwa iman hanya pengakuan atau pembenaran dalam hati (tasdiq bi al-qalb). Artinya, mengakui dengan hati bahwa tidak ada Tuhan selain Allah SWT dan Muhammad Rasul-Nya. Berangkat dari konsep ini, Murji'ah berpendapat bahwa seseorang tidak menjadi kafir karena melakukan dosa besar, bahkan mengatakan kekufurannya secara lisan. Oleh karena itu, jika seseorang telah beriman dalam hatinya, ia tetap dipandang sebagai seorang mukmin sekalipun menampakkan tingkah laku seperti Yahudi atau Nasrani. Menurut mereka, iqrar dan amal bukanlah bagian dari iman, karena yang penting menurut mereka adalah tasdiq dalam hati. Alasannya bahwa iman dalam bahasa adalah tasdiq sedangkan perbuatan dalam bahasa tidak dinamakan tasdiq. Tasdiq itu merupakan persoalan dalam hati sedangkan perbuatan urusan anggota tubuh (al-arkam) dan diantara keduanya tidak saling mempengaruhi. Iman letaknya dalam hati dan apa yang ada dalam hati seseorang tidak diketahui manusia lain. Sedangkan perbuatan-perbuatan seseorang tidak selamanya menggambarkan apa yang ada dalam hatinya. Oleh karena itu ucapan-ucapan dan perbuatan-perbuatan seseorang tidak mesti mengandung arti bahwa ia tidak mempunyai iman. Kredo kelompok Murji'ah Ekstrim yang terkenal adalah perbuatan maksiat tidak dapat menggungurkan keimanan sebagaimana ketaatan tidak dapat membawa kekufuran. Dapat disimpulkan bahwa Murji'ah Ekstrim memandang pelaku dosa besar tidak akan disiksa di neraka.

2. Murji'ah Moderat
Golongan Murji'ah Moderat berpendapat bahwa iman itu terdiri dari tasdiq bi al-qalb dan iqrar bi al-lisan. Pembenaran hati saja tidak cukup ataupun dengan pengakuan dengan lidah saja, maka tidak dapat dikatakan iman. Kedua unsure iman itu tidak dapat dipisahkan. Iman adalah kepercayaan dalam hati yang dinyatakan dengan lisan. Jadi pelaku dosa besar menurut mereka bukanlah kafir dan tidak kekal dalam neraka sungguhpun ia meninggal dunia sebelum sempat bertaubat dari dosa-dosanya. Nasihnya nasibnya di akhirat terletak pada kehendak Allah, kalau Allah mengampuninya maka ia terbebas dari neraka dan masuk surga, namun jika ia tidak mendapat ampunan ia masuk neraka dan kemudian baru dimasukkan surga. Adapun orang yang berdosa kecil, dosa-dosanya akan dihapus oleh kebaikan, sembahyang dan kewajiban-kewajiban lainnya yang dijalankannya. Dengan demikian dosa-dosa besar apalagi dosa-dosa kecil tidak membuat seseorang keluar dari iman.
Pandangan Aliran Murji'ah Tentang Konsep dan Kufur
1. Murji'ah Ekstrim
Konsep Murji'ah Ekstrim berdasar pengakuan atau pembenaran dalam hati (tasdiq). Menurut golongan ini orang Islam yang percaya pada Tuhan dan kemudian menyatakan kekufuran secara lisan maka tidaklah kafir, karena iman dan kufur tempatnya hanyalah dalam hati. Oleh karena itu segala ucapan maupun perbuatan yang menyimpang dari kaidah agama tidak berarti menggeser atau merusak keimanannya, bahkan keimanannya masih sempurna dalam pandangan Tuhan, sungguhpun ia menyembah berhala, menjalankan ajaran Yahui / Kristen dengan menyembah salib. Hal ini disebabkan oleh keyakinan Murji'ah bahwa iqrar dan amal bukanlah bagian dari iman.
2. Murji'ah Moderat
Konsep iman Murji'ah Moderat berdasar pembenaran dalam hati (tasdiq) dan pengakuan dengan lidah (iqrar). Menurut golongan ini orang Islam yang berdosa besar bukanlah kafir, tetapi masih tetap mukmin, akan tetapi dosa yang diperbuatnya bukan berarti tidak berimplikasi. Seandainya masuk neraka, karena Allah menghendakinya, ia tidak akan kekal didalamnya dan akan dimasukkan serga. Abu hanifah memberi definisi iman sebagai berikut, iman ialah pengetahuan dan pengakuan tentang Tuhan tentang Rasul-rasul-Nya dn tentang segala apa yang datang dari Tuhan dalam keseluruhan dan tidak dalam perincian; iman tidak mempunyai sifat bertambah atau berkurang dan tidak ada perbedaan antara manusia dalam hal iman. Definisi Abu Hanifah ini menggambarkan bahwa iman seluruh umat Islam adalah sama, hanya berbeda dari segi intensitas amal perbuatannya.

Referensi:
- http://man2amuntai.wordpress.com/2008/11/29/aliran-murjiah/
- Abdul Rozak, Rosihin Anwar, Ilmu Kalam, Pustaka Setia,Bandung 2001

The Owl by Edward Thomas

The Owl by Edward Thomas
Puisi ini menceritakan keadaan ketika perang dimana segala sesuatunya kacau balau, susah, lapar dan kelaparan. Secara srtuktural puisi ini memiliki rima bersilang a-b-a-b.
Stanza pertama menjelaskan keadaan perang dimana prajurit mengalami lapar, haus, kelaparan (‘I came,hungry, and yet not starved’) dan kedinginan (‘cold, yet had heat within me that was proof’).
Stanza selanjutnya menerangkan bahwa di medan perang tidak ada waktu yang banyak untuk makan, beristirahat selama perang belum usai. Di medan perang tersebut rasa lapar, kedinginan dan lelah benar-benar dirasakan (‘Knowing, how hungry, cold, and tired was I’).
Stanza ketiga menejlaskan bahwa di medan perang tidak ada kemurahan hati dan keceriaan (‘no mercy note, nor cause of merriment’). Kita tidak bisa lari begitu saja dan melarikan diri (‘but one telling me plain what I escaped’).
Stanza terakhir menerangkan bahwa semuan keinginan akan istirahat, bergembira masih jauh dari harapan.

The Soldier by Rupert Brooke

The Soldier by Rupert Brooke
Puisi perjuangan ini menjelaskan tentang kerinduan seorang prajurit pada tanah airnya selama perang. Cita-citanya jika mati sebagai tentara di medan perang tetapi matiterkena nyamuk demam berdarah.
Stanza pertama menceritakan tentang kerinduan prajurit akan tanah airnya (‘Gave her flowers to love….breathing English air’)selama perang di negeri orang (‘that there’s some corner of a foreign field’) demi kejayaan negeri England (‘that is forever England’).
Stanza selanjutnya menceritakan keadaan perang di negeri orang tidak seindah di negeri sendiri England (‘gives somewhere back the thoughts by England given’) yang bisa membuat bahagia hati (‘dreams happy as her day’), kedamaian (‘in hearts at peace, under an English heaven’).

Epithap on an Army of Mercenaries by A.E Housman

Epithap on an Army of Mercenaries by A.E Housman
Puisi ini menceritakan sifat seorang tentara bayaran yang kesetiaan mereka adalah uang. Mereka rela menjual nasionalisme mereka demi setumpuk uang yang menurut mereka bisa membuat mereka senang atau bisa dikatakan dengan nama nasionalisme uang.
Stanza pertama menjelaskan pada hari ketika perang (‘in the day when heaven falling’) sebuah negara yang membutuhkan semangat nasinalisme warganya untuk membela negaranya malah dipenuhi dengan tentara bayaran (‘followed their mercenary calling’) yang identitas mereka adalah uang bukan nasionalisme pada negara. Suatu negaraakan hancur jika warganya hanya ditumpuki oleh para tentara bayaran yang bagi mereka hanyalah gaji (‘and took their wages…’).
Stanza selanjutnya menjelaskan tentang para tentara bayaran dipundak mereka terdapat tanggung jawab terhadap negara dan kedamaian bumi (‘their shoulder held the sky suspended’) tetapi mereka mengabaikannya demi uang (‘and saved the sum of things for pay’). Dimana rasa nasionalisme mereka terhadap negara (‘what God abandoned’) wahai tentara bayaran.
Puisi ini juga termasuk dalam puisi perjuangan.

Coould Man Be Drunk Forever by A.E Housman

Coould Man Be Drunk Forever by A.E Housman
Puisi yang memiliki rima a-b-c-b ini sebenarnya merupakan sindiran kepada orang yang mabuk kekuasaan dan cinta.
Pada stanza pertama menjelaskan tentang haruskah manusia mabuk selamanya (‘could man be drunk forever’) yang dalam hal ini mabuk akan kekuasaan dan cinta (‘with liquor, love and fights’) yang selamanya membelenggu manusia untuk selalu mencari kekuasaan demi kepuasan diri atau obsesi pribadi.
Stanza selanjutnya menerangkan tentang manusia kadang-kadang harus bersikap waras/bijaksana menggunakan akalnya (‘But men at whiles are sober…and think by fits’…) dalam menyikapi segala sesuatu di dunia ini termasuk kekuasaan dan cinta. Mereka harus kembali pada komitmen mereka yang bisa menjadikan mereka orang yang berguna bagi orang lain atau janji mereka (‘their jands upon their hearts’).

In Time of the Breaking of Nations by Thomas Hardy

In Time of the Breaking of Nations by Thomas Hardy
Puisi Thomas Hadry ini dilihat dari sturukturnya memiliki rima bersilang yaitu a-b-a-b. Adapun secara semantic puisi ini menceritakan tentang komentar Hardy tentang perang bahwa perang tidak lah harus merubah keadaan dasar seorang manusia. Manusia harus menjaga dan merawatnya dengan menanami bumi dengan makanan yang bisa dijadikan bahan makanan untuk kelangsungan hidup manusia di bumi.
Puisi ini juga bisa digolongkan dengan puisi perjuangan karena jika dilihat dari semangat Hardy yang mengingatkan kita akan efek dari sebuah perang yang bisa berimbas pada keadaan dasar seorang manusia.

Beat! Beat! Drums! –blow! Bugles! Blow! by Walt Whitman

Beat! Beat! Drums! –blow! Bugles! Blow! by Walt Whitman
Puisi ini menceritakan keadaan perang dimana semuanya kacau tidak ada ketenangan apa pun. Suasana tersebut digambarkan seperti pawai drum band. Setiap daerah yang dilaluinya tidak akan merasa tenang untuk istirahat ataupun tidur. Dentuman-dentuman bom bagaikan terompet yang ditiupkan dan drum yang digebuk oleh penabuhnya. Kalau di budaya kita dentuman itu seperti dentuman bambu pada saat ramadhan.
Puisi ini juga bisa sebagai satir tentang keadaan perang Amerika Utara-Selatan antara pihak miskin dan kaya.

The Raven by Edgar Allan Poe

The Raven by Edgar Allan Poe
Puisi ini menceritakan seorang kekasih (Lenore) yang yang ditinggal mati oleh kekasihnya. Kekasih yang mati tersebut berusaha memberi tahu bahwa dia tidak akan kembali (‘nevermore’)melalui burung gagak sebab dia telah meninggal. Disini burung gagak disimbolkan sebagai pembawa pesan dari yang mati.
The raven kalo dilihat isi puisinya yang berisi tentang kematian bisa digolongkan ke dalam puisi dark romantic. Karena biasanya kematian identik dengan kegelapan atau dark.
Struktur puisinya juga mempunyai bentuk yang hampir teratur, bisa dilihat dari jumlah baris setiap stanzanya. Stanza awal sampai stanza ketiga memiliki baris berjumlah tujuh. Selanjutnya berganti-ganti dari sembilan baris,6 dan 8. Memiliki rimayang tidak teratur.

No Coward Soul Is Mine by Emily Bronte

No Coward Soul Is Mine by Emily Bronte
Puisi ini menceritakan tentang keimanan kepada tuhannya. Puisi ini jika dilihat dari segi strukturnya memiliki rima yang tidak teratur yang memiliki 6 bagian yang bisa disebut stanza.
Stanza pertama menjelaskan tentang rasa keimanannya bahwa dia yakin bahwa tuhan yang ada di dalam dadanya bisa melindunginya dari ketakutan dan kekosongan jiwa.(“o God within my breast….As I undying life, have power in thee!”)
Stanza selanjutnya menjelaskan tentang keimanannya yang akan mengenyahkan segala omong kosong di dunia ini dengan kepercayaanya.
Pada stanza ketiga menceritakan bahwa tidak ada keraguan dalam dirinya tentang keimanannya. Kasih sayang tuhannya akan senantiasa abadi dan tidak pernah berkurang untuk hambanya yang beriman.
Kasih saying-Nya luas dan menyerap ke dalam relung hatinya. Dia bisa merubah, menghilangkan dan menciptakan segala sesuatu yang ada pada stanza ke-empat dijelaskan.(“pervades and broods above”)
Stanza selanjutnya menceritakan tentang kasih saying-Nya tidak akan pernah lenyap walaupun alam semesta ini hilang dan hancur (“Though earth and moon were gone….and sun and universes ceased to be”)
Pada stanza terakhir menjelaskan bahwa tidak ada kematian bagi-Nya dan tidak adak pernah bisa dihancurkan.

Sonnet 43 by Elizabeth Browning

Sonnet 43 by Elizabeth Browning
Puisi ini menjelaskan tentang perasaan seorang isteri kepada suaminya yang begitu mencintainya. Dari segi rimanya sonnet ini memiliki rima yang tidak teratur.
Kalimat pertama pada baris kesatu “How do I love thee? Let me count the ways” menjelaskan tentang jika ada yang menanyakan seberapa dalam cintanya lalu ia jawab lewat baris selanjutnya yaitu “I love thee to depth and breadth and height” yang menandakan perasaan cinta pada suaminya yang begitu mendalam. Rasa cintanya takan pernah hilang oleh waktu ini bisa dilihat dari kata “I love thee to the level of every day’s”.
Cintanya mengalir di setiap hembusan nafasnya (“I love thee with the breath”). Bahkan jika tuhan memilih, dia ingin tetap mencintanya setelah mati (“I shall but love thee better after death”).

Longing by Mathew Arnold

Longing by Mathew Arnold
Puisi yang terdiri dari 4 stanza memiliki rima yang teratur (a-a-b-b) dengan stanza ke-satu diulang lagi di stanza ke-empat. Puisi tersebut berisi tentang kerinduan seorang kekasih tetapi kerinduan tersebut sia-sia sebab kekasihnya belum juga datang.
Pada stanza pertama menjelakan tentang harapan seorang kekasih supaya kekasihnya datang ke dalam mimpinya, “come to me in my dream..” untuk menyemangati dia agar baik lagi, ini dilihat dari “by day I shall be well again” . Tetapi kerinduannya sia-sia.
Stanza selanjutnya menjelaskan lanjutan dari stanza pertama tentang harapan kerinduannya pada kekasihnya agar datang berkali-kali (“come, as thou cam’st a thousand times”) bagaikan seorang pembawa obat rindu yang membuat hari harinya berseri-seri (‘and smile on thy new world”).
Stanza ketiga menjelaskan keraguannya apakah dia akan benar-benar datang, ini bisa dilihat dari kalimat “Or ,as thou never cam’st in sooth” . selanjutnya harapannya jika kekasinya datang dan menjadi nyata, dia ingin memadu kasih dengannya. Disini juga terdapat curahan hatinya yang lama memendam rindu yang tercurahkan dalam kalimat “My love why sufferest thou?”
Stanza terakhir yang merupakan ulangan dari stanza pertama menjelaskan bahwa kerinduannya sia-sia sebab kekasihnya tidak pernah datang kepadanya.
Puisi ini juga memiliki satir agar seolah pacarnya tahu dia menderita karena rindu.

Meeting at Night

Meeting at Night by Robert Browning
Meeting at Night pada stanza pertama memilki rima yang tidak teratur (a-b-c-d-e-f) sedang pada stanza kedua rimanya mulai teratur (a-b-a-a-b-a). Puisi tersebut menjelaskan tentang perjalanan seorang laki-laki mencari/menuju cintanya. Stanza pertama menjelaskan keadaan perjalanannya di dekat pantai (pesisir pantai) dengan pemandangan yang pada saat itu melewati matahari yang sedang terbenam setengahnya di ufuk laut seperti pada kalimat “The grey sea and the long black land;” dan “and the yellow half-moon large dan low” dengan hamparan laut dengan ombak yang saling bergulung-gulung seperti bara api yang menjulur, ini dapat dilihat dari kalimat “..and the starled little waves that leap” dan “in fiery ringlets from their sleep” .
Pada stanza kedua puisi ini menjelaskan tentang perjalanannya yang sangat jauh untuk bisa bersama dan bertemu. Jiwa mereka seperti satu seperti pada kalimat “Than the two hearts beating each to each”.

analisis The Eagle

The Eagle by LordTennyson
The Eagle dilihat dari struktur puisinya mempunyai rima teratur yaitu a-a-a b-b-b. Dari segi semantiknya puisi tersebut menggambarkan bahwa hidup manusia itu seperti elang yang lama-lama makin tua. Siklus hidup manusia juga seperti elang yang kadang di atas dan kadang di bawah ini dapat kita lihat pada kalimat “He watches from his mountain walls” yang menandakan elang tersebut berada di atas sama seperti manusia yang kadang ada di atas dan kalimat “And like a thunderbolt he falls”, manusia juga sering mengalaminya jatuh dari kesuksesan jatuh ke dalam kegagalan yang artinya manusia sedang berada di bawah. Tidak selamanya elang berada di atas sebab dia juga pasti turun ke bawah untuk makan,minum dan tidur, sama halnya dengan manusia tidak selamanya berada di atas.
Hikmah yang bisa di dapat dari puisi ini adalah segala sesuatu di dunia adalah sementara, tidak ada yang abadi.

SHORT FICTION

SHORT FICTION

Cave painting showing the outcome of a hunting expedition or the imagined exploits of a fantastic beast testify to the ancient roots of the human love for stories. From the time when people first discovered how to communicate through spoken words or written symbols, they have instructed, amazed, warned, and entertained each other with tales both true and fictional.

Early Forms of Fiction

Allegory

Allegories are stories in which each character, action, and setting stands for one specific meaning. For Example, in John Bunyan’s allegory A Pilgrim’s Progress (1678/1684), a character name Christian represents the virtues associated with the ideal member of that faith. In the allegory, Christian passes through landscape of temptations and dangers with areas symbolically named the “Slough of Despond,” the “City of Destruction,” and the “Valley of Humiliation” before he reaches the “Celestial City”. Allegories, which are intended to teach moral lessons, may also be written as poetry and drama.

Myth
Myths often tell stories of ancient deities, sometimes describing their exploits, sometimes explaining how a particular god or goddess came into being. Other myths address the mysteries of nature, including the creation of the universe and its diverse inhabitants. Ancient people probably invented myth as a way to make sense of the world in which they lived. For instance, gods and goddess were describe as experience human emotions—hate, jealousy, love, passion, despair—and as facing the human conflicts these feelings create

Legend
Legends recount the amazing achievements of fictional characters or exaggerate the exploits of people who actually lived. For example, the story of Paul Bunyan. Legends—which often include the entertaining tall tale—frequently praise and confirm traits that a society particularly values. In Indonesia is like the story of Gunung Tangkuban Perahu.

Fairy Tale like Myth
Fairy Tales focus on supernatural beings and events. They are not peopled by gods and goddesses, however, but by giants, troll, fairy godmothers, and talking animals who happily coexist with humans—both royalty and common folk. Fairy tales do not attempt to explain the natural world or to affirm national values but instead focus on the struggle between clearly defined good and evil. In fairy tales, good always prevails over evil, although—in those that have not been censored to suit modern sensibilities—the “good” is often achieved by rather terrifying means. Figures of evil drop into posts of boiling oil, are flayed alive, or are cooked into (evidently tasty) pies.

Fable
The best-known fables are those that were told by Greek slave Aesop. Fables usually feature animals that can talk and, in general, act just as rationally (and just irrationally) as human. Unlike myth, legend, and fairy tales—but like allegories—fables state an explicit lesson. For instance, the story of race between boastful Hare. In Indonesia is like the story of Rajawali dan gagak.

Parable
Like fable, parables teach a lesson or explain a complex spiritual concept. Unlike fable, which tells a story that demonstrates the stated moral, a parable is a narrative that serves as an analogy for the principle being taught. For Example, the New Testament contains many parables that suggest the relationship between God and human.


Modern Short Fiction

All of these early forms of short fiction still exist today. In the nineteenth century, however, a new form evolved. It was exemplified by the work of writers such as Guy de Maupassant in France; Anton Chekhov in Russia; George Eliot and Thomas Hardy in Great Britain; and Edgar Allan Poe, Nathaniel Hawthorne, Herman Melville, Mary Wilkins Freeman, and Sarah Orne Jewett in the United States.

The Realistic Short Story
The nineteenth century realistic short story differed from early forms of fiction in many ways. Nineteenth-century realistic short story focused on scenes and event of everyday life. Ordinary men, women, and children—not fabulous god, powerful giant, and talking animals—inhabited these stories. Characters were developed more fully; rather than representing on primary trait, the central figure of short stories exhibited the complexities and contradictions of real people. Plots became more intricate to suggest the working of character ‘soul and minds and to depict their external actions. Setting became more than briefly sketched backdrops. Time and place were described in vivid detail. Most important, realistic short stories moved away from teaching one particular moral or lesson. Although the theme of a short story often suggested certain values, readers were expected to find meaning for themselves. The author no longer served up a moral or lesson in a direct and obvious way.

The realistic short story, as it evolved from the nineteenth century to the twentieth, usually focuses on a conflict experienced by a character or group of characters. Often, by facing that conflict, the characters come to know them-selves (and other people) more fully. A short story that shows a young person moving from innocence to experience is called a story of initiation. A related form is the story of epiphany, in which a character experiences a conflict that leads to a sudden insight or profound understanding. (The word “epiphany” comes from the name of the Christian feast day celebrating the revelation of the infant Jesus to the Magi. These wise men, who had traveled from the East, returned to their own countries deeply moved and changed by what they had seen in Bethlehem).

The Nonrealistic Short story
The nineteenth century also saw the development of the non realistic short story. For example, many of Nathaniel Hawthorne’s stories introduced supernatural being, strange setting, or plot events that could not be explained by traditional laws of the nature. Although these nonrealistic stories often incorporated elements of earlier forms of short fiction (For instance, character—human or animal—with unusual powers), they shared certain qualities with the realistic short story. Their characters were more developed and had spiritual and psychological depth, their plots were more complex, and their settings were more fully described. Most important, their themes often led the reader to speculated, wonder, and question rather than to accept a directly states moral or lesson.
In the twentieth century, writers such as Leslie Marmon Silko (“the Man to send Rain Cloud”) continue the tradition of the nonrealistic short story. Unbound by realistic dimensions of time and space, unfettered by the laws of physics or even by the convention of human psychology, these writers push their imaginations—and the imagination of their readers—in new and sometimes unsettling directions. Reading non realistic fiction requires what the nineteenth century poet Samuel Taylor Coleridge called “the willing of suspension of disbelief”—the willingness to read, enjoy, and ponder setting, plots and characters that seem strange and unconventional. Even more so than realistic fiction, nonrealistic stories lead in many diverse directions rather than toward theme.

So, Short fiction in early form to modern form have been fully developed and changed. Those certainly impact from the development of human taught as far as the development of the first human settle in the earth.




Reference:

- Responding to Literature, Judith A. Stanford, McGraw Hill companies, 2006.
- Fiction, Jane Bachman Gordon and Karen Keuhmer, McGraw Hill companies, 1999

hermenetika

Hermenetika
Kata hermenetik berasal dari kata dewa Hermes yang diutus untuk menyampaikan pesan-pesan Tuhan.
Hermenetika sebagai seni memahmi diungkapkan olehnya,” semenjak seni berbicara dan seni memahami berhubungansatu dengan yang lain, maka berbicara hanya merupakan sisi luar dari berpikir,dan hermenetik adalah merupakan bagian dari seni berpikir itu sehingga bersifat filosofis.
Menurut Frederich Scheilmacher, pemahaman adalah suatu rekonstruksi yang bertolak dari ekspresi yang telah diungkapkan dan mengarah kembali kesuasana kejiwaan dimana ekspresi tersebut diungkapkan. Dalam masalah ini terdapat dua halpokok yang saling berhubungan dan berinterkasi,yaitu momen tata bahasa dan momen kejiwaan.
Hermenetik melibatkan sturktur bahasa seperti morfologi, sintak, semantic, dan lain-lain disiplin ilmu dalam bahasa.
Pemahaman Umum hermenetik dari struktur bahasa
Kata



Bahasa



Kalimat

Lingkaran Hermenetik Umum

Menurut Scheilmacher, bahasa hanya dilihat dari siapa yang mengungkapkannya dan kejiwaannya bukan dilihat dari sejarah (asal kata tersebut).






Hermenetika menurut Wilhelm Dilthey

Pemikiran filsafat Dilthey dikenal dengan nama ‘filsafat hidup’ karena ia berupaya untuk menganalisis proses pemahaman yang membuat kita dapat mengetahui kehidupan pikiran (kejiwaan) kita sendiri dan kehidupan keijwaan orang lain.
Menurut Dilthey hidup bukanlah sekedar kenyataan bilogis sebagaimana hidup binatang, melainkan lebih dari pada itu karena manusia bersifat kompleks. Hidup menurut Dilthey merupakan suatu term psikologis dan kuasimetafisik, menunjuk semua keadaan jiwa, proses serta kegiatan sadar dan tidak sadar. Sebagai seorang empiris Dilthey menolak setjiap bentuk transendentalisme, seperti ‘Ding an Sich’, dunia ide sebagaimana dikemukakan oleh Plato dimana hidup hanya sebagai sekedar fenomena.
Tentang hermenetika menurutnya adalah untuk melengkapi teori pembuktian validitas universal interpretasi agar mutu sejarah tidak tercemari oleh pandangan yang tidak dapat dipertanggungjawabkan.
Berdasarkan prinsip-prinsip kermenetik yang diungkapkan Dilthey nampak pada kita bahwa bahasa memiliki peranan yang sentral,karena proses dan dimensi hidup manusia tercover oleh bahasa. Kompleksitas kehidupan manusia dapat dipahami dan diinterpretasi melalui kacamata bahasa, yang diungkapkan oleh DIlthey bahwa keseluruhan dapat dipahami melelui bagian-bagiannya, sedangakan bagian-bagiannya dapat dipahami melalui keseluruhannya.

Pendekatan Kritis Sastra

Pendekatan Kritis Sastra

Disampaikan oleh: Nole Valenzua
Disampaikan untuk : Prof. Tacorda

• Antropologi: cenderung memfokuskan pada aspek kehidupan sehari-hari dalam berbagai budaya (cerita rakyat, ritual, perayaan dan tradisi). Anda mungkin bertanya: Apa fungsi sosial sehari-hari pada teks ini? Bagaimana fungsi tersebut disampaikan (secara lisan atau tulisan)? Apakah fungsi sosial tersebut menggambarkan budaya rakyat?
• Archetype: Berhubungan dengan kritik Psychoanalitis dalam beberapa cara (lihat dibawah). Dikembangkan oleh Carl Jung, pendekatan menerima ide pikiran bawah sadar. Akan tetapi, tidak seperti Sigmund freud dan kritik yang lainnya, Jungians berpendapat bahwa bagian alam bawah sadar dibagi oleh semua orang. Dari pandangan ini istilah “ bawah sadar kolektif” dikembangkan, sebuah istilah hasil-hasil dan aktifitas-aktifitas pikiran manusia (ditemukan dalam mitos, simbol, ritual dan sastra) dan memproduksi kembali sebagai archetype.
Archetype adalah bilangan atau pola-pola yang berulang dalam hasil-hasil imajinasi,dan bisa dibagi ke dalam tiga kategori. Karakter-karakter archetype termasuk(tetapi tidak dibatasi untuk): pahlawan, penjahat, orang buangan, femme fatal, dan pecinta bintang. Situasi archetype termasuk (tetapi tidak dibatasi untuk): penyelidikan, jurnal, kematian dan kelahiran kembali, dan tugas. Asosiasi dan simbol-simbol archetype termasuk sifat-sfiat yang berlawanan: terang/gelap, air/kekeringan, tinggi/dalam, musim semi/ musim dingin.
Archetype penting untuk catatan dua hal. Pertama, hasil karya mungkin mengandung banyak archetype. Kedua, tidak segala sesuatu itu adalah archetype. Keseimbangan antara dua hal ekstim ini bisa sangat sulit untuk dicapai. Mencari pola-pola yang berulang dalam sebuah potongan atau sebuah koleksi yang berhubungan dengan cerita-cerita bisa sangat bermanfaat dalam menggunakan pendekatan ini.

• Biografi: berhubungan dengan kehidupan pengarang dan pikiran-pikiran dari hasil karyanya. Seperti cenderung pada gambaran masa-masa dia hidup, kritik biografi mungkin aspek penting dari pendekatan sejarah (baru). Pendekatan biografi membolehkan pemahaman yang lebih baik pada elemen-elemen dalam karya, maupun hubungan karya untuk pendengar dan tujuan pengarang. Anda mungkin bertanya, “bagaimana teks bisa menggambarkan kehidupan pengarang? apakah teks ini perluasan dari posisi pengarang dalam persoalan-persoalan kehidupan pengarang?”
• Kritik baru: tidak seperti pendekatan bigrafi dan sejaranh, sebuah pendekatan kritik baru berpendapat bahwa kesusastraan membutuhkan sedikit atau tidak hubungan dengan tujuan pengarang, kehidupan, atau situasi sosial/sejarah. Segala sesuatu dibutuhkan untuk menganalisa karya yang terkandung dalam teks. Kritik baru juga cenderung menguji kualitas fisik dari teks dalam sebuah “ materi ilmu pengetahuan” yang menguji bahasa dan konvensi bahasa (rima, ukuran, aliterasi, plot, sudut pandang pengarang, dll). Sama, walaupun tidak identik, paham struktual dalam penekanan struktual pada teks itu sendiri. (lihat dibawah)
• Naratologi: mengenai naratologi sendiri dengan sturktur cerita—bagaimana peristiwa digagas dan melalui sudut pandang pengarang. Anda mungkin bertanya,”bagaimana narasi dari karya ini (fiksi, puisi, film) dibagi bersama-sama?siapa atau apa yang menceritakan?Pertimbangan ini narrator tidak hanya sebagai individu, tetapi lebih dari sebagai jendela melalui pandangan sebuah realita yang digagas. Ini bisa disusun dari seseorang yang menceritakan hikyat pada sebuah kamera yang objektif: “pada tingkat apa narasi itu dimediasi?”
• Kritik Sejarah (baru): mungkin pendekatan sebuah teks dari banyaknya pandangan, tetapi semua pandangan cenderung menggambarkan sebuah perhatian dengan masa yang mana teks itu dibuat dan atau membaca karya-karya sejaman. Bukan “sejarah” bisa menjadi kebenaran objectif atau meliputi banyak hal karena sejarah adalah tulisan yang konstan dan ditilis kembali; akan tetapi mempelajari kontek sejarah dari sebuah karya, terutama sekali perbedaan dengan apa yang dibaca, bisa menerangi prasangka kita dan berharap membantu kita dalam memahami teks (budaya, konteks, diri sendiri) secara lebih baik.
Kritik sejarah baru adalah mengenai hubungan ide sebuah teks ke kunci konsep-konsep yang lain: budaya, tulisan, idiologi, diri sendiri, dan sejarah. Kritik sejarah baru menguji penyimpangan-penyimpangan teks, pembaca, dan sejarah dan dengan sebuah perhatian khusus pada kesusastraan sebagai kultur teks. Kritik sejarah baru juga menguji hubungan kesusastraan dengan kekuatan stuktur masyarakat.
Penelitian sejarah mungkin mengandung biografi (lihat di atas), penerimaan belajar, pengaruh belajar, atau bahkan sebuah pendekatan teknologi pada medium (pembuatan film, pencetakan, industri musik, komputer dan WWW). Riset juga telah menggunakan kritik reader-respond (lihat dibawah). Anda mungkin bertanya, “bagaimana teks membubuhkan sebuah sejarah pada waktunya? Apakah teks ini sebuah dokumen sejarah yang sangat bermanfaat?”

• Post-Stukturalis: ketika menerima struktualis dan analisis bahasa Saussuere (lihat stukturalis dibawah), post stukturalis menganggap hubungan antara bahasa dan makna, akhrnya menolak arti pasti apa pun. Jacques Derrida, salah satu post struktualist yang berpengaruh, menamai metoden kritik “dekonstruksi”. Menggunakan dekonstruksi pembaca mananalisis teks dan khususnya bahasa untuk menyingkap makna gandanya (ambigu) dan merusak hubungan antara makna dengan “dunia luar”. Anda mungkin pada awalnya bertanya, “bagaimana bahasa/arti dalam teks ini berlawanan sendiri?bagaimana bisa sebuah karya bisa diinterpretasi ke dalam banyak cara?”
• Psikoanalitis: seperti tujuan kritik yang tidak menutupi kerja pikiran manusia—khususnya ekspresi bawah sadar. mungkin termasuk menganalisis sebuah teks seperti sebuah mimpi, mencari simbol dan mewakili arti, atau mengembangkan analisis psikologi pada sebuah karakter.
Tiga ide ditemukan pada karya Sigmun Freud adalah sangat bermanfaat: dominan pikiran bawah sadar melebihi alam sadar, ekspresi pikiran bawah sadar melalui simbol (bahkan dalam mimpi), dan seksualitas sebagai sebagai kekuatan pakasaan untuk memotivasi tingkah laku manusia. Kritik psikoanalitis bisa diterapkan pada salah satu pengarang dan hubungan teks atau pembaca dan hubungan teks. Anda mungkin bertanya, “bagaimana teks menggunakan atau mewakili pikiran bawah sadar: pengarang, karakter, pembaca?”

• kritik Reader Respon: mempelajari interaksi pembaca dengan teks, membaca teks yang tidak komplit sampai selesai. Pendekatan kritik ini bisa menjadi, dan sering dikombinasikan dengan pendekatan yang lainnya (seperti pskoanalitis dan sejarah), tetapi menantang fokus isi sendiri kritik baru atau klaim tak berarti apa-apa yang dibahas oleh post-strukturalis.
• Semiotik: kritik menggunakan bahasa, terutama dalam teks komentar pada bahasa alami (lihat strukturalis). Bagi ahli semiotic, bahasa adalah suka-suka tetapi membagi system tanda arti. Anda mungkin bertanya, “bagaimana teks ini mengkritik bahasa?apakah itu merusak penggunaan aturan bahasa?mengapa?atau jika teks nampaknya mengomentari bahasa itu sendiri, “bagaimana bahasa menggunakan penggambaran sebuah bahasa tidak sadar sebagai sebuah alat idiologi?”
• Kritik social: mengenai kritik social sendiri dengan fungsi social teks, terdiri dari beberapa kategori, dan analisis struktur social, kekuasaan, politik, dan instansi. Kritik social sama dengan kritik sejarah dalam mengakui bahwa sastra sebagai refleksi kehidupan. Ada beberapa pergerakan social, tetapi marxis, feminisme, dan gender, dan teori hijau adalah umum.
Marxisme adalah mengenai pembelajaran buruh, teori kelas masyarakat dan ekonomi, khususnya mengenai perjuangan kaum miskin dan penindasan. Seorang Marxist mungkin bertanya, “apakah teks ini menggambarkan sebuah idiologi ekonomi? Apakah sikap terhadap buruh lebih lanjut oleh teks ini?

• kritik Feminis menguji karya oleh dan tentang wanita. Kritik gender meningkatkan feminisme membahas persoalan-persoalan kejantanan/kewanitaan sebagai pasangan, orentasi seksual, heteroseksual, dan perbedaaan dalam jenis kelamin.keduanya adalah aktifitas politik mengenai perlakuan dan perwakilan yang sama. Sebuah kritik menggunakan studi feminis atau studi gender (kadang dikenal sebagai studi seks) mungkin bertanya, “bagaimana gender digagas dan dihancurkan dalam teks ini?apakah pandangan teks gender atau penganut sex?”
• Strulkturalis: seperti kritik baru, strukturalis konsentrasi pada elemen-elemen karya sastra tanpa memfokuskan pada sejarah, social, dan pengaruh biografi. Strukturalis, bagaimanapun, mendasarkan pada linguistic dan dikembangkan oleh Ferdinand de Saussure. Saussure berpendapat bahwa bahasa adalah lengkap, isi system sendiri dan seharusnya dipelajari seperti biasanya. Saussure juga mengklaim bahwa bahasa adalah system tanda. Ketika diaplikasikan pada sastra, kritik ini umumnya dikenal sebagai semiotic. (lihat dibawah)

Note: informasi pada tulisan ini dianggap sebagai pengetahuan umum dalam studi sastra. Seseorang yang ingin mencari informasi lebih diharapkan berkonsultasi ke tulisan essay Kelley Griffith tentang sastra, bab tujuh.

Berguna juga:
Overview dan bacaan umum: Modern literary theory: A comparative introduction edited by Ann jeferson and David Robey and Literay Theory: An introduction by Terry Eagleton.

filsafat bahasa

1. Menurut Verhaar pengertian filsafat bahasa mengandung dua makna yaitu;
(1) filsafat mengenai bahasa, dan
(2) filsafat berdasarkan bahasa.
Dalam pengertian pertama bahasa dijadikan sebagai objek berfilsafat, seperti ilmu bahasa, psikolinguistik, sejarah asal usul bahasa. Dalam pengertian kedua bahasa dijadikan sebagai landasan atau acuan dalam berfilsafat. Dalam hal ini, menurut Verhaar bahasa mengandung dua pengertian; bahasa eksklusif yaitu bahasa komunikasi sehari-hari yang dipakai sebagai pedoman filsafat analitik dan bahasa inklusif yaitu bahasa musik, bahasa cinta, bahasa alam yang dijadikan arahan dalam hermeneutika.
(R. Mustansyir: Filsafat Bahasa)

Secara etimologi, istilah fisafat merupakan derivasi dari kata “falsafah” (bahasa Arab) yang diadopsi dari bahsa Yunani, yaitu dari kata “Philoshopia” yang terbentuk dari dua kata; “philien/philo” yang berarti cinta dan “shopia” yang berarti kebijaksanaan. Secara etimologi filsafat berarti cinta kebijaksanaan dan orangnya disebut “filosof”.

Jadi perbedaannya pengertian Filsafat bahasa dengan pengertian filsafat pada umumnya adalah hanya pada objek kajiannya atau konsentrasi kajian yang digalang baik itu filsafat bahasa ataupun filsafat pada umumnya. Pengertian filsafat pada umumnya tidak hanya mengkaji bahasa tetapi lebih kompleks yaitu kehidupan.

2. a. Pada dasarnya, kaum sofis memandang kebenaran sejati itu tidak ada. Kebenaran bagi mereka hanyalah perubahan demi perubahan. Dan, karena kebenaran sejati tidak ada, serta tidak akan pernah tercapai, maka hilanglah perbedaan yang benar dan yang salah. Masing-masing memiliki kebenaran yang berbeda satu sama lain. Akan tetapi, kebenaran yang dianut masing-masing orang pun akan terus mengalami perubahan dari waktu ke waktu. Konsekuensinya, relativisme mencuat dari skeptisisme absolut ini. Relativitas mereka menerjang tanpa lantai. Filsafat mereka pun akhirnya terkesan sebagai sebuah pembongkaran ketimbang pembangunan."sophis" ("yang bijaksana dan berapengetahuan") atau kaum sofis mengajarkan kebijakan pada banyak orang baik di dalam Athena maupun di luar kota Athena, namun dengan memungut bayaran. Yang kaum Sofis ajarkan kebantanya retorika dan kebanyakan dari mereka orangnya angkuh karena mereka merasa mereka lah orang yang paling bijaksana dan mereka lah orang yang maha tahu, dan kaum sofis mengatakan kebenaran berlaku relatif.
b. Sokrates membantah semua yang dikatakan oleh kaum sofis. Ia mengatakan pasti ada kebenaran yang sifatnya obyektif, dan ia lebih memusatkan perhatian pada tingkah laku manusia, bahkan ada seorang yang mengatakan Socrates telah membawa filsafat dari langit turun ke bumi, ini didasarkan atas ajarannya yang menjadikan filsafat memperhatikan manusia bukan alam semesta.
Cara yang dilakukannya adalah dengan metode dialektika yaitu melakukan dialog dengan siapa saja yang ditemuinya dan Socrates bertanya tentang segala hal yang menyangkut khidupan manusia bahkan pertanyaannya terkadang mudah namun sulit untuk dijawab oleh beberapa orang, terkadang ia mengungkapkan pertanyaan dengan humor yang terkesan tidak serius. Metode dialektis ini sering melibatkan diskusi yang bertentangan, cara pandang seseorang diadu dengan yang lain; seorang partisipan dapat mengarahkan orang lain untuk menentangnya sehingga akan memperkuat pandangannya sendiri
Socrates sebenarnya ingin memperkenalkan metodenya ini dengan nama maieutike tekhne atau dapat diartikan sebagai seni kebidanan. Yang dimaksud Socrates adalah membidani jiwa, karena ia percaya bahwa setiap orang telah mempunyai pengetahuan semu yang didapat dari ilham yang disampaikan oleh roh atau pertanda ilahi (daimonion semeion), namun biasanya manusia tidak menyadarinya, dan tugasnyalah untuk menyedarkan mereka akan pengetahuan semua itu sehingga yang tadinya pengetahuan bersifat semua menjadi pengetahuan yang nyata dan disadari.
c. Pola pemikiran Aristoteles merupakan perubahan yang radikal. Menurut Plato, realitas tertinggi adalah yang kita pikirkan dengan akal kita, sedang menurut Aristoteles realitas tertinggi adalah yang kita lihat dengan indera-mata kita. Aristoteles tidak menyangkal bahwa bahwa manusia memiliki akal yang sifatnya bawaan, dan bukan sekedar akal yang masuk dalam kesadarannya oleh pendengaran dan penglihatannya. Namun justru akal itulah yang merupakan ciri khas yang membedakan manusia dari makhluk-makhluk lain. Akal dan kesadaran manusia kosong sampai ia mengalami sesuatu. Karena itu, menurut Aristoteles, pada manusia tidak ada idea-bawaan.
Aristoteles menegaskan bahwa ada dua cara untuk mendapatkan kesimpulan demi memperoleh pengetahuan dan kebenaran baru, yaitu metode rasional-deduktif dan metode empiris-induktif. Dalam metode rasional-deduktif dari premis dua pernyataan yang benar, dibuat konklusi yang berupa pernyataan ketiga yang mengandung unsur-unsur dalam kedua premis itu. Inilah silogisme, yang merupakan fondasi penting dalam logika, yaitu cabang filsafat yang secara khusus menguji keabsahan cara berfikir.
3. Rene Descartes mengembangkan metode Skeptisisme. Dalam bidang matematika, Rene Descartes memadukan prinsip geometri dan aritmatika dengan menggunakan prinsip rumus aljabar yang kemudian dikenal dengan koordinat kartesian.
Awal filsafat Descartes adalah kebingungan. Filsafat begitu beragam dan dianggap Descartes sebagai ilmu yang simpang siur serta penuh dengan kontradiksi. Dalam kebingungannya, Descartes merasa harus berbuat lebih untuk penyempurnaan filsafat. Ia mencoba menyusun ilmu induk yang mengatasi seluruh ilmu pengetahuan dengan metode ilmiah yang bersifat umum dan cocok digunakan dalam segala ilmu. Logika Aristoteles tidak bermanfaat karena lewat logika itu tidak tercapai pengetahuan yang baru. Descartes mencoba untuk melepaskan diri dari ajaran-ajaran tradisional agar ia bisa memperbaharui filsafat dan ilmu pengetahuan.
Penjelasan Descartes dimulai dengan prinsip keraguan atau kesangsian kartesian. Sebuah pengetahuan baru adalah pengetahuan yang kebenarannya tidak dapat diragukan. Pengetahuan sejati dimulai dari kepastian. Titik tolak pengetahuan yang benar adalah titik pengetahuan yang tidak dapat diragukan atau disangsikan. Dasar pengetahuan adalah kepastian. Kepastian itu adalah kondisi tak bersyarat dan tidak tergantung dari hal yang dipelajari dan dialami karena segala sesuatu yang dipelajari dan dialami sewaktu-waktu dapat berubah. Perubahan menandakan ketidakpastian.
Kepastian hal yang benar-benar pasti dan ada dapat dicapai dengan meragukan dan menyangsikan segala sesuatu. Bila sesuatu itu bisa bertahan atas segala keraguan radikal maka sesuatu itu bisa disebut dengan kebenaran yang pasti. Inilah yang disebut dengan kebenaran filsafat yang pertama dan terutama.
Setelah meragukan segala sesuatu, Descartes menemukan ada satu hal yang tak dapat diragukan lagi, saya yang sedang menyangsikan semua hal, sedang berpikir, dan jika saya sedang berpikir itu berarti tidak dapat diragukan lagi bahwa saya pasti ada. Maka muncullah istilah Je Pense, donc Je Suis. Descartes berpendapat manusia harus menjadi titik berangkat pemikiran yang rasional. Untuk mencapai kebenaran, rasio harus berperan semaksimal mungkin.
4. David Hume mewariskan metode filsafat yaitu metode empiris. Menurutnya pengalaman merupakan sumber kebenaran. Ide-ide dalam pikiran di dibandingkan secara impresif yang kemudian disusun untuk mendapatkan kebenaran secara geometris. Metode tersebut juga dilakukan oleh Locke, Hobbes, dan Berkeley. Common sense, menurut Hume adalah anugerah tuhan yang sangat berharga. Tetapi kita harus membuktikannya dengan tindakan yang masuk akal dan sengaja.
5. (1) Kebenaran a priori (secara etimologis berarti “dari hal yang lebih dulu”), yakni kebenaran yang independen dari pengalaman atau kebenaran yang datang sebelum kita berinteraksi dengan objek. Kebenaran ini memiliki validitas universal dan niscaya (necessary), tidak tidak bergantung dari pengalaman untuk membuktikan status kebenaran itu;
Misalnya: kebenaran matematis bahwa 1+2=3;
(2) Kebenaran a posteriori (secara etimologis berarti “dari hal yang lebih kemudian”), yakni kebenaran yang didasarkan atas pengalaman atau kebenaran yang datang sesudah kita berinteraksi dengan objek.
Misalnya: anjing itu menggonggong;
Menurut Kant, proposisi yang bersifat sintesis a priori merupakan proposisi yang sifatnya benar tanpa memerlukan pertimbangan dari pengalaman. Lebih jauhnya, proposisi yang bersifat sintesis a priori seperti misalnya: “Segala sesuatu pasti memiliki sebab”, tidak pernah bisa dibuktikan oleh para penganut aliran empirisme karena mereka telah telah terdoktrin bahwa “pasangan” dari sintesis adalah posteriori dan sebaliknya, “pasangan” dari analitis adalah apriori. Begitu juga dengan penganut aliran rasionalisme.
Kant berargumen, bahwa proposisi yang bersifat sintesis a priori memerlukan sejumlah macam bukti dibandingkan proposisi yang sifatnya analitis a priori atau sintesis a posteriori.
6. Keterkaitannya adalah moore berpendapat bahwa tugas utama filsafat adalah memberikan analisis yang tepat atau memadai tentang konsep suatu proposisi, yaitu menguraikan dengan jelas dan memadai apa yang dimaksud dengan konsep atau proposisi itu. Memberikan analisis secara pantas terhadap suatu konsep atau suatu proposisi itu sama dengan menggantikan perkataan atau kalimat yang digunakan untuk mengunggkapkan hal itu dengan ungkapan-ungkapan lain yang sama benar nilainya dengan kalimat arau ungkapan tadi.
7. a. Pemikirannya Wittgeinstein dan Bertrand Russel:
Persamaanya: - tugas utama filsafat adalah memberikan analogis dengan sintesa logis, yang bertujuan untuk penjelasan logis dari pikiran. Dan juga suatu logika bahasa yang sempurna mengandung aturan sintaksis tertentu sehingga dapat menghindari ungkapan yang tidak bermakna, dan memiliki simbol tunggal yang selalu memiliki makna tertentu dan terbatas.
Perbedaaannya: - penolakan Wittgeinstein terhadap metafisika sebenarnya merupakan suatu sikap yang tidak konsisten dengan visi dasar bahasa yang dilukiskannya sebagai gambaran duniayang memiliki struktur logis, karena sebenarnya hak ini sudah merupakan suatu keyakinan metafisik.
b. - proposisi adalah keterangan atau pernyataan-pernyataan tentang dunia, yaitu bahwa sesuatu itu adalah sedemikian rupa yang ditangkap oleh pikiran.
-Bahasa logika adalah ungkapan bahasa yang memiliki formulasi logis, atau dengan lain perkataan perlu ditentukan formulasi logis dalam ungkapan-ungkapan bahasa.
c. - Proposisi Atomis adalah pengungkapan fakta-fakta yang paling sederhana (istilah atomis sepadan dengan susunan benda-benda yang terdiri atas bagian terkecil yang disebut atom).
- Proposisi Majemuk suatu ungkapan yang dirangkaikan dengan kata-kata penghubung seperti 'dan', 'atau' serta kata penghubung lainnya.
d. - Proposisi Atomis adalah pengungkapan fakta-fakta yang paling sederhana (istilah atomis sepadan dengan susunan benda-benda yang terdiri atas bagian terkecil yang disebut atom). (Russel Bertrand).
- Proposisi atomis adalah fakta yang tidak terdiri atas fakta lebih lanjut dan lebih asasi atau mengungkapkan keberadaan suatu peristiwa (Ludwig Wittgeinstein)
e. Persamaan isomorf dengan picture theory: terdapat kesesuian logis antara sturktur bahasa dengan sturktur realitas dunia. Dunia merupakam keseluruhan fakta, adapun fakta terungkapkan melalui bahasa.
Perbedaannya: Russell menerapkan analisis bahasanya dengan menggunakan proposisi atomis mejadi proposisi yang bersifat majemuk, sedangkan Wittgeinstein menerapakan analisis bahasanya menggunakan metode menganalisis makna kata, anatara lain dengan menganalisis tipe kata-kata (Words Type).
8. - Positivisme logis yaitu gerakan filsafat baru yang dirintis oleh seorang fisikus sekaligus filsuf bernama Moritz Schlik(1882-1936). Aliran ini sangat dipengaruhi oeh pemikiran filsafat LudwigWittgenstein. Positivisme logis menerima pandangan-pandangan filosofis dari atomisme logis tentang logika dan cara atau teknik analisisnya namun demikian menolak metafisika atomisme logis.
- Perbedaannya: Atomisme menerima metafisika, fakta tidak harus ada sekarang, sedangkan positivisme menolak metafisika, fakta harus ada pada sekarang.
- Persamaannya: Atomisme dan positivisme logis lebih pada tataran semantik, apakah bahasa itu bermakna atau tidak, bermakana jika merujuk pada realitas.
9. Prinsip verifikasi adalah suatu keharusan bahwa suatu pernyataan atau proposisi itu secara prinsip memiliki kemungkinan diverifikasi secara empiris. Hal ini bukan mengharuskan bahwa suatu pernyataan atau proposisi itu telah dilakukan verifikasi atau tidak mengharuskan menghasilkan suatu pernyataan yang mesti benar. Prinsip Verifikasi berarti menguji, membuktikan secara empiris. Setiap ilmu pengetahuan dan filsafat senantiasa memiliki makna apabila secara prinsip bisa diverifikasi.
10. Cara pandang seorang ahli filsafat atau keilmuan lainnya pasti akan berubah mengikuti perubahan zaman yaitu pengetahuan, karena ilmu pengetahuan bersifat dinamis. Suatu saat ilmu yang satu akan menggantikan ilmu yang lain. Pada masa atomisme dan positivisme logis ahli filsafat bahasa memandang bahasa hanya pada tataran semantic yaitu apakah bahasa itu bermakana atau tidak,sedangkan pada masa filsafat bahasa biasa yang merupakan perkembangan cara pandang ahli filsafat bahasa terhadapa bahasa yang artinya mengalami pembaharuan tentang bahasa. Pada masa ini ahli filsafat bahasa memandang bahasa lebih ke tataran pragmatik (penggunaan), dalam kontek apa bahasa itu digunakan.
11. a) Wittgenstein lebih mendasarkan pada makna bahasa sehari-hari dalam kaitannya dengan konteks penggunaannya dalam berbagai bidangkehidupan sehingga dikembangkannya dalam teori yang dikenal (Language-games). Sedangkan Ryle lebih menekankan pada aspek pragmatis dalam kaitannya dengan aturan-aturan logis, sehingga Ryle sering menemukan persoalan filsafat timbul karena kekacauan dalam penggunaan bahasa yang melanggar norma logika atau yang tidak sesuai dengan kategori logika, yang dikenal dengan (Category mistake).

b) Language-games. Wittgenstein lebih menekankan aspek pragmatis bahasa atau dengan perkataan lain lebih melek, dalam berbagai macam permainan terdapat aturan-aturan main tersendiri yang merupakan pedoman dalam tata permainan. Dalam pengertian ini dimaksudkan oleh Wittgeinstein selain permainan catur masih banyak lagi permainan-permainan lainnya seperti bola Volly, sepakbola,dan lain sebagainya.

c) Category Mistake. Kekeliruan dalam penggunaan bahasa dalam melukiskan fakta-fakta yang termasuk kategori satu dengan menggunakan ciri-cir logis yang menandakan kategori lain.

12. Speech act (Tindakan Bahasa) adalah mengolah filsafat bahasa biasa dalam suatu perspektif yang bersifat menyeluruh. Yang tidak hanya terbatas pada analisis makna bahasa biasa melainkan menganalisis bermacam-macam ungkapan atau ucapan dalam kaitannya dengan tindakan penuturnya.
Speech act dibagi atas 3 macam: 1) Tindakan Lokusi (Locutionary Acts), (2) Tindakan Illokusi (Illocutinary Act), dan Tindakan Bahasa Perlokusi (Perlocutionary Acts).
13. Tindakan Lokusi (Locutionary Acts): suatu tindakan bahasa untuk menyampaikan sesuatu, yaitu tindakan bicara penuturnya dikaitkan dengan sesuatu yang diutamakan dalam isi tuturannya.misalnya: “ ada seekor ayam di pohon”. Hal ini berarti melalui ucapan tersebut mengarah atau mengacu kepada orang ketiga.Melalui ucapan lokusi ini tidak memnuntut tanggung jawab si penutur untuk melaksanakan isi tuturannya.
14. - Tindakan Lokusi (Locutionary Acts): suatu tindakan bahasa untuk menyampaikan sesuatu, yaitu tindakan bicara penuturnya dikaitkan dengan sesuatu yang diutamakan dalam isi tuturannya.
- Tindakan Illokusi (Illocutinary Act), yaitu suatu penampilan tindakan bahasa dalam mengatakan sesuatu, yang dilawankan dengan mengatakan sesuatu.
- Tindakan Bahasa Perlokusi (Perlocutionary Acts), yaitu tindakan bahasa dalam mengatakan sesuatu dengan maksud untuk menimbulkan efek, respon atau reaksi atas pikiran bagi orang yang diajak berbicara oleh penutur bahasa.
15. a) Ucapan konstantif (Constantive Utterance) adalah salah satu mjenis ucapan yang melukiskan atau menggambarkan suatu keadaan factual. Secara kamus bias dibuktikan atau dibenarkan tanpa harus dibuktikan sekarang. Contohnya: Undang-undang Dasar 1945 disyahkan tanggal 18 agustus 1945. Ucapan tersebut sudah termasuk dalam konstatif karena melukiskan suatu fakta atau kejadian yang telah lampau.
b) Ucapan Performatif (Performatif Utterance) adalah ucapan yang tidak dapat ditentukan benar atau salah berdasarkan peristiwanya atau fakta yang telah lampau, melainkan suatu ucapan yang memiliki konsekuensi perbuatan bagi penuturnya. Contohnya: Saya berjanji akan memberi hadiah kepada saudara, jika saya terpilih menjadi caleg DPR RI.